ZONATIMES.COM, Opini – Hari kartini jatuh pada 21 April, hari kelahiran ibu kartini yang dijadikan prasasti pergerakan perempuan untuk mendapatkan keadilan dalam hidupnya, bergerak keluar dari domestifikasi yang membelenggu dirinya akibat dari konsepsi palsu budaya patriarki.
Prasasti inilah yang kemudian dijadikan pengingat, dan pendorong semangat gerakan perempuan.
Namun, sekarang ini gerakan perempuan seakan tersekat-sekat akibat perbedaan pandangan, bahkan kesesatan ataupun kesalahan berpikir.
Gerakan pembebasan perempuan yang dianggap sebagai cara untuk melemahkan kaum laki-laki, seolah-olah gerakan ini adalah gerakan benci kepada laki-laki.
Biasanya kesalahan ini muncul pada perempuan akibat kebencian terhadap laki-laki, pernah disakiti saat menjalin hubungan asmara dan laki-laki yang beranggapan seperti adalah laki-laki yang kurang mendalami sejarah dan gerakan perempuan itu bisa lahir.
Kesalahan persepsi tersebut akhirnya merubah gerakan perempuan seolah-olah menjadi perang antar perempuan dan laki-laki, padahal subtansialnya adalah untuk memperoleh keadilan untuk perempuan bukan penjajahan kepada laki-laki.
Hal tersebut dapat kita cermati dalam gerakan Ibu Kartini dalam buku habislah gelap terbitlah terang, bahwa dalam melakukan gerakan tidak ada sedikit pun gerakan pelemahan laki-laki.
Surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya di Eropa, tidak memandang jenis kelamin. Salah satu suratnya dikirim kepada Prof Anton untuk menyuarakan suara perempuan yang sedang dibelenggu domestifikasi budaya keluarganya.
Isi suratnya pun tidak berisikan kritik terhadap laki-laki, akan tetapi berisikan kritik terhadap budaya yang membelenggu perempuan dan kondisi domestifikasi.
Ini dikarenakan kesadaran bahwa konsepsi palsu bukan hanya memenjarakan perempuan akan tetapi juga pemikiran laki-laki, bahwa budaya patriarki bukan hanya merugikan perempuan tapi juga laki-laki.
Menurut saya inilah yang kemudian menjadi salah satu kunci keberhasilan dari gerakan ibu Kartini, membangun kesatuan gerak dan perspektif yang baik dan benar.
Untuk itu demi merefleksi pemahaman kita terkait dengan gerakan pembebasan perempuan ini bahwa gerakan menuntut keadilan, bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia.
Di momentum hari kartini, mari perbaiki persepsi bahwa baik laki-laki dan perempuan harus bersama-sama bergerak membebaskan perempuan dari belenggu budaya patriarki.
Gerakan perempuan bukan gerakan penjajahan terhadap laki-laki, tetapi gerakan menuntut keadilan yang sama-sama dibutuhkan baik laki-laki maupun perempuan.
Penulis: Rahmat, Kordinator Keilmuan dan Penalaran PMII FEBI UIN Alauddin Makassar Cabang Makassar