ZONATIMES.COM, Opini – Menjadi mahasiswa yang dipercayakan untuk menimba ilmu di rantau memang selalu menghasilkan cerita menarik, unik dan penuh perjuangan.
Namun berbeda dengan tahun ini, di tengah-tengah fokusnya pergantian semester untuk belajar ke jenjang selanjutnya malah menjadi momok menakutkan.
Bagaimana tidak, sejak (11/3/2020) sebuah penyakit jenis baru yang disebut virus Corona yang muasalnya dari Wuhan, Tiongkok ini telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia: WHO karena penyebarannya yang massif secara global.
Tak terkecuali di Indonesia, korban yang tercatat terinfeksi virus ini kian hari semakin bertambah. Data terbaru (8/5/2020) jumlah kasus positif terinfeksi telah mencapai 12,776 orang.
Penyebaran yang begitu massif, pemerintah pun terus berupaya mencari solusi terbaik dalam menangani pandemi yang menjangkiti bangsa saat ini. Mulai dari menerapkan social distancing, physical distancing hingga kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan di beberapa daerah.
Kondisi Kampus
Sejumlah Universitas di Indonesia, tak terkecuali di wilayah Sulawesi Selatan memilih untuk meniadakan perkuliahan di kelas dan menggantinya dengan metode daring. Banyak mahasiswa yang mengeluh terhadap metode perkuliahan semacam ini dikarenakan jadwal kuliah yang dinilai to the point, penumpukan tugas dan subsidi kuota gratis yang diklaim diperuntukkan untuk mahasiswa-padahal para vendor penyedia layanan telah jauh hari menyediakan kuota gratis untuk mengakses situs pendidikan.
Hal ini berimplikasi pada banyaknya mahasiswa rantau yang memilih pulang kampung (sebelum massifnya penyebaran virus Corona) karena tak ada pilihan.
Kendati kebijakan yang dikeluarkan oleh beberapa daerah yang mengikuti himbauan pemerintah pusat menahan mahasiswa rantau untuk pulang alias mudik.
Pertanyaan yang muncul ialah jika mahasiswa rantau dilarang untuk pulang ke kampung halamannya apakah pemerintah sanggup mengeluarkan biaya bagi perantau ini? Kita berharap semoga demikian terjadi.
Ramadhan yang Berbeda
Hari ini (8/5/2020), umat muslim telah melewati separuh ramadhan dengan kondisi sosial yang tidak
seperti biasanya. Dibatasinya ritual keagamaan seperti salat tarawih berjamaah ialah hal yang marak dibicarakan saat ini. Alasan pemerintah setempat cenderung hampir sama -memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Terselip beberapa pertanyaan masyarakat mengenai pembatasan ritual kegamaan ini, diantaranya efektifkah meraih amalan di bulan ramadhan tanpa disertai salat tarawih berjamaah di masjid? apakah salat tarawih yang dilakukan di rumah sebanding dengan salat tarawih jika dilakukan secara berjamaah di masjid?
Pertanyaan seperti itu seharusnya dijawab oleh pemerintah melalui representasi tokoh keagamaan yang memiliki kapasitas keilmuan di bidang fikih. Batasan kohesi sosial sebaiknya dibarengi dengan edukasi karena kapasitas keilmuan yang dimiliki masyarakat berbeda-beda. Tentunya kita berharap hal tersebut terejewantah.
Peran Mahasiswa
Sebagai agen perubahan, mahasiswa yang diindentikkan lebih mendominasi keilmuannya dibanding siswa seharusnya bersikap proaktif dalam mengahadapi pandemi saat ini. Membantu Pemerintah dalam menjalankan kebijakannya, memberi edukasi kepada warga bahwa apa yang diupayakan oleh Pemerintah setempat ialah amalan dari amanat Konstitusi “Melindungi segenap bangsa Indonesia”.
Tugas seorang mahasiswa memang sudah seharusnya untuk berfikiran terbuka. Apalagi dalam menyikapi persoalan kebangsaan yang menimpa kita saat ini.
Di masa sulit seperti sekarang ini, selain mawas diri dalam menghadapi pandemi. Kita juga sebaiknya menggunakan akal sehat. Melakukan rutinitas harian yang bermanfaat selama mengikuti anjuran pemerintah untuk #diRumahAja diantanya membaca buku, menulis dan membantu orang tua di rumah. Hal-hal produktif sebaiknya dilakukan selama ada waktu luang untuk tetap di rumah.
Penulis: Rezki Awalyah, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Makassar