ZONATIMES.COM, OPINI – Wabah Covid-19 yang kini tengah melanda kita semua telah menjadi kasus wabah penyakit yang mendunia. Pandemi ini telah mengacaukan segala aspek kehidupan seluruh negara di dunia.
Virus yang berasal dari negara Cina yang dijuluki negeri Tirai Bambu ini muncul dengan gejala yang menyerupai pneumonia, demam tinggi, kesulitan dalam bernafas, paru-paru yang tampak tidak normal, dan bisa mengakibatkan kematian.
Hanya dengan waktu sekejap virus ini dapat melumpuhkan segala aktifitas manusia, dan membuat segalanya menjadi serba via online. Kegiatan yang semula dilakukan dengan tatap muka, kini terpaksa harus dilakukan via online.
Setiap berita diberbagai media berisikan informasi mengenai virus yang mematikan ini. Semua media massa juga dibanjiri oleh berita-berita dan tulisan mengenai perkembangan Covid-19 ini.
Hal tersebut yang menyebabkan tingkat kepanikan banyak orang dari seluruh dunia meningkat.
Kepanikan itu membuat banyak orang yang ekonomi tinggi memborong bahan makanan dan juga berbagai kebutuhan kesehatan atau disebut dengan panic buying.
Akibatnya terjadi kelangkaan barang. Kalaupun masih ada stok, pastinya harga barang tersebut melonjak tinggi. Lalu apa kabar dengan orang yang tidak memiliki banyak uang atau ekonomi bawa? Mereka menjadi tidak bisa memenuhi kebutuhannya akibat panic buying.
Di tengah kondisi mewabahnya Covid-19 berbagai langkah taktis dilakukan pemerintah guna untuk memutus mata rantai persebaran Covid-19 ini.
Dari Social Distancing, Physical Distancing, mengadakan Rapid Test, Pembataasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Namun menurut penulis, selain itu, pemerintah juga harus menerapkan komunikasi krisis untuk menghindari keraguan masyarakat.
Apa sih komunikasi krisis itu?
Fearn-Banks (2002:2) mengemukakan pendapat bahwa “Crisis communication is the dialog between the organization and its publics prior to, during, and after the negative occurance”. Yang memiliki arti “Komunikasi krisis merupakan dialog yang terjadi antara perusahaan dan publik dalam waktu sebelum dan sesudah krisis”.
Disamping itu, Coombs dan Sherry (2020:20) juga berpendapat bahwa “Crisis communication can be define broadly as the collection, processing, and dissemination of information required to address a crisis situation”. Artinya, komunikasi krisis dapat didefinisikan secara luas sebagai pengumpulan, pengolahan, dan penyebaran informasi yang diperlukan untuk mengatasi situasi krisis.
Komunikasi krisis ini sangat penting untuk dilakukan pemerintah guna mengeluarkan informasi yang jelas, dan selalu melakukan penyaringan terhadap tiap informasi yang dibutuhkan.
Dalam pelaksanaan komunikasi krisis pastinya tidak dilakukan dengan asal-asalan, karena komunikasi krisis sendiri memiliki beberapa prinsip inti dalam pelaksanaanya. Prinsip inti tersebut antara lain, bahwa dalam pelaksanaan komunikasi krisis harus berdasarkan fakta dan data yang valid selain itu juga dalam penyediaan informasi dan proses komunikasi yang cepat dan tepat.
Di Indonesia, pasien terus bertambah tiap harinya. Pertambahan angka positif Corona tersebut disebabkan oleh kurangnya kerjasama dan komitmen antara pemerintah dan seluruh masyarakat dalam pemutusan rantai persebaran Covid-19.
Dalam penanganan kasus ini pemerintah Indonesia dinilai belum siap pada berbagai aspek. Seperti halnya dalam komunikasi penyampaian kebijakan yang disampaikan kepada masyarakat umum dinilai “mencla-mencle” atau tidak pasti dan suka berganti-ganti sehingga membuat bingung masyarakat.
Dalam keadaan seperti ini pemerintah harus memikirkan matang-matang strategi atau langkah apa yang akan diambil selanjutnya.
Informasi tersebut juga harus disampaikan dengan jelas agar tidak simpang siur dan timbul hoax. Dengan diterapkannya prinsip komunikasi krisis, diharapkan pemerintah dapa meminimalisir kecacatan informasi yang disampaikan kepada khalayak umum.
Oleh: Cahyaningtyas Kusuma
Penulis merupakan Mahasiswi Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.