ZONATIMES.COM, Makassar – Tidak lama lagi kita akan memasuki periode pemilihan kepala daerah atau lebih akrab dikenal dengan pilkada. Namun ada yang berbeda dengan periode pilkada kali ini, dimana hegemoninya tak sehingar binger pilkada-pilkada sebelumnya hal ini tentu saja diakibatkan oleh situasi pandemi yang entah kapan akan berhenti. Kondisi ini bukan hanya menghilangkan tegemoni pilkada semata, namun semua aspek pun ikut terseret.
Terkhusus untuk pilkada ini, yang notabenenya merupakan kontestasi politik guna mencari pemimpin negeri, dikhawatirkan partisipasi masyarakat untuk memilih juga ikut tereduksi. Namun persoalan utamanya bukanlah hilangnya tegemoni tersebut, tapi kekhawatiran terhadap penyebaran covid-19 yang bisa jadi semakin tinggi dikarenakan adanya perbuatan kontestasi politik ini. Mengapa hal tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi banyak kalangan?
Analisisnya cukup sederhana. Lebih dari setengah tahun terakhir kehidupan kita secara bertubi-tubi dirasuki oleh wabah misterius yang lebih akrab disapa dengan corona. Semua lini dibuatnya pontang panting; mulai dari pendidikan, ekonomi, interaksi antar manusia, hingga paling fundamental sekalipun. Yaitu peribadatan. Wabah ini sempat memaksa kita selaku manusia untuk beraktifitas secara terbatas dari tempat-tempat tertentu, dan yang paling ideal adalah daring dari rumah.
Banyak masalah yang kemudian bermunculan; pelajar yang berkoar dengan banyaknya tugas pasca menuntut ilmu secara daring, buruh-buruh yang kehilangan mata pencaharian, seseorang yang rindu dari pujaan hati dan manusia-manusia yang rindu dengan hegemoni pilkada dengan berbagai tendensi, atensi, dan rejeki yang datang bersamanya.
Berbagai fenomena yang disebut menimbulkan dampak yang signifikan dengan adanya berbagai penutupan sarana dan prasarana dari pembatasan sekolah, pembatasan transportasi, pembatasan kegiatan ibadah dan social yang bermuara pada hilangnya sumber-sumber penghasilan, sumber-sumber pengetahuan dan sumber-sumber pahala. Selain itu, kondisi pandemi ini juga berpotensi menghilangkan sumber-sumber suara para calon kepala daerah yang akan turut berkontertasi.
Lantas mengapa kemudian pemilihan kepala daerah ini tetap dilaksanakan? Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang semula akan digelar serentak pada 23 september pada 23 september 2020, akhirnya diputuskan untuk diundur pada 23 desember 2020.
Keputusan ini diambil berdasarkan rapat dengar pendapat (RDP) antara komisi II DPR RI dengan Pemerintah dalam hal ini kementerian dalam negeri, bersama dengan penyelenggara pemilu (badan pengawas Pemilihan umum, komisi pemilihan umum, dan dewan kehormatan penyelenggara pemilu) pada 27 mei 2020. Banyak pihak yang kemudian pesimis bahwa pemilihan kepala daerah kali ini akan berhasil dengan sukses dan berkualitas.
Pilkada dimasa pandemic dinilai akan lebih banyak mendatangkan mudarat dari pada manfaat, antara lain; menimbulkan klaster baru penyebaran kasus positif Covid-19 yang bisa jadi akan menguntungkan calon petahana dan akan mengurangi kualitas kontestasi. Ditengah kasus positif covid-19 yang terus meningkat semua keraguan masyarakat itu dianggap wajar dan bisa diterima secara nalar.
Apalagi Negara kita belum punya pengalaman melaksanakan dimasa pandemi. Namun, membiarkan pilkada tanpa ada kepastian juga bukannya pilihan yang tepat karena menyangkut keberlangsungan pemerintahan dan taraf hidup masyarakat di 270 wilayah. Pilihannya kemudian adalah melaksanakan pilkada sampai pilkada selesai atau melaksanakan pilkada di masa pandemi.
Ditengah pilihan tersebut kemudian muncul permasalahan baru yang menurut masyarakat tidak selayaknya diteruskan. bagi masyarakat, perhelatan pilkada ini menjadi kontadiksi dengan penutupan sekolah, kampus, tempat ibadah dan juga tempat kerja yang pernah atau sedang dilakukan pemerintah mereka menganggap bahwa covid-19 seharusnya juga bisa menjadi alasan pemilihan kepala daerah itu seharusnya ditunda hingga pandemic ini benar-benar usai.
Berdasarkan fenomena ini kini bermunculan berbagai protes dan sindiran dari masyarakat entah itu melalui tulisan-tulisan ilmiah, tulisan-tulisan kritis atau pun meme-meme kocak yang bertebaran di media social
Dalam benak saya selaku penulis saya pun sepakat dengan pandangan masyarakat tersebut. Kok bisa-bisanya pandemi covid-19 menutup masjid meliburkan siswa dan mahasiswa memabatasi orang bekerja namun tidak bisa menghentikan perhelatan pilkada.
Penulis: Nur Haerani (Akuntansi UINAM)