ZONATIMES.COM, Makassar – Perilaku disfungsional (dysfunctional behavior) yaitu tindakan-tindakan individu atau tim dalam menyikapi penerapan sistem pengukuran kinerja yang mengejar pencapaian tujuan individu atau tujuan tim jangka pendek tetapi mengorbankan tujuan pencapaian perusahaan jangka panjang. Ada beberapa penyebab terjadinya perilaku disfungsional.
Pertamadan yang paling penting adalah adanya pemberian reward atau punishment yang dikaitkan dengan kinerja secara berlebihan. Kedua, perilaku disfungsional terjadi karena adanya ketakutan karyawan untuk mendapatkan punishment jika pengukuran kinerja diterapkan. Ketiga, perilaku disfungsional terjadi karena adanya kesulitan untuk mengukur sesuatu yang penting untuk diukur. Dan keempat, perilaku disfungsional terjadi karena adanya keinginan karyawan agar kinerjanya “tampak bagus” meskipun sebenarnya “tidak bagus”.
Perilaku disfungsional bisa berupa tindakan penentangan pengukuran kinerja secara terbuka atau secara sembunyi-sembunyi. Perilaku disfungsional dikategorikan menjadi dua kelompok: (1) manipulasi informasi (dysfunctional behavior-information manipulation) yang terdiri dari pembiasaan atau pemfokusan informasi serta perbuatan-perbuatan yang melanggar atau pemalsuan (illegal acts of falsification); dan (2) pengimplikasian indikator pengukuran kinerja (dysfunctional behavior-gaming).
Ada beberapa bentuk perilaku disfungsional yang bisa saja terjadi: (1) Smoothing: menaik-turunkan angka di laporan kinerja yang sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi riilnya; (2) Biasing: cenderung menggunakan data yang menguntungkan; (3) Focusing: melaporkan kinerja yang bagus dan menyembunyikan kinerja yang buruk; (4) Gaming: menyiasati aturan yang ada atau menggunakan proses/rumus yang dapat membuat kinerja tampak bagus, walaupun sebenarnya tidak bagus; (5) Filtering: menahan laporan kinerja yang dapat menunjukkan kinerja buruk karyawan; (6) Illegal Acts: melakukan manipulasi data waktu setup mesin agar kinerja tampak bagus. Dengan adanya perilaku disfungsional (dysfunctional behavior) tentu saja akan memengaruhi negatif implementasi sebuah sistem.
Saat ini negara kita Indonesia bahkan negara lainnya di dunia tengah dilanda Pandemi Corona (Covid-19). Pandemi Corona (Covid-19) ini menimbulkan tiga masalah terhadap perekonomian di dalam negeri.Pertama, pandemi ini menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Khususnya, pada saat pemerintah menjalankan berbagai langkah untuk melakukan pencegahan penyebaran Covid-19.
Kebijakan pemerintah dalam mencegah penyebaran pandemi telah membatasi interaksi fisik antarmasyarakat, sehingga berbagai aktivitas ekonomi secara informal menjadi terpukul. Dalam penanganan dampak Covid-19 ini pemerintah melihat konsumsi masyarakat akan turun secara drastis. Padahal, konsumsi masyarakat memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian, yaitu hampir 59%. Kedua, adanya ketidakpastian di tengah pandemi membuat tingkat investasi juga ikut melemah.
“Ini karena orang yang akan melakukan investasi, atau sedang dalam posisi menjalankan suatu investasi, mereka terhenti akibat Covid-19,” papar Sri Mulyani.
Ketiga, dikarenakan perekonomian di seluruh dunia mengalami pelemahan, maka kinerja ekspor juga ikut terpukul. Hal ini tercermin dari penurunan harga komoditas, minyak, batu bara, sampai Crude Palm Oil (CPO). Alhasil penurunan ini berpengaruh terhadap basis perekonomian Indonesia yang berorientasi ekspor, bahkan sektor manufaktur Indonesia yang membutuhkan impor juga mengalami penurunan.
Sri Mulyani menegaskan, pandemi ini akan sangat memengaruhi kinerja perekonomian maupun kehidupan masyarakat. Untuk itu dampaknya terhadap perekonomian harus segera diatasi. melalui perubahan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang difokuskan untuk penanganan pandemi di dalam negeri.
Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan gerakan Social Distancing.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, pemerintah mengubah istilah Social Distancing menjadi Physical Distancing karena tidak sesuai kebudayaan masyarakat. Menurut Mahfud, penyebutan Social Distancing justru seakan-akan menjauhkan kerukunan masyarakat. Karena itu, pemerintah pun melakukan pendekatan dengan mengubah istilah Social Distancing menjadi Physical Distancing.
Dengan adanya Physical Distancing ini bertujuan untuk menjauhi segala bentuk perkumpulan, jaga jarak antar manusia, serta menghindari berbagai pertemuan yang melibatkan banyak orang. Selama masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, perilaku disfungsional “seakan menghilang” akibat semua dilakukan dari rumah. Hal ini menyebabkan banyaknya pekerja melakukan tugasnya dengan lebih baik, karena pekerjaan yang dilakukan tanpa beban ataupun tuntutan akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Tetapi, dampak yang sebenarnya adalah pekerjaan dapat menjadi menumpuk karena dikerjakan dengan santai. Hal ini dapat memicu kembali timbulnya perilaku disfungsional akibat pekerjaan tersebut dikerjakan dengan terburu-buru saat menyadari waktu pengerjaannya tidak akan cukup. Jika hal ini terjadi maka pekerja dapat berfikiran untuk melakukan manipulasi-manipulasi data agar pekerjaan dapat terlihat lebih baik yang dimana perilaku tersebut merupakan salah satu bentuk dari dysfunctional behavior.
Penulis: Muh. Kurnia (Akuntansi UINAM)