ZONATIMES.COM, Makassar – Ibarat, Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin inilah peribahasa yang tepat untuk mengungkapkan apa yang terjadi saat ini di negeri kita tercinta.
Dengan peningkatan grafik pasien positif covid-19 yang cukup tinggi, di beberapa wilayah dikeluarkan aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) untuk yang kesekian kalinya. Hal ini tentu saja berdampak pada beberapa aktivitas perekonomian dan pendidikan.
Bukannya menelurkan kebijakan untuk menyelesaikan dampak pandemi dengan segera, penguasa justru menelurkan beberapa kebijakan yang tidak jarang menimbulkan kontroversi, diantaranya Perppu no.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang didalam salah satu pasalnya (pasal 27) dinilai justru bisa membuka celah bagi pejabat untuk melakukan korupsi, Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan (kenaikan iuran BPJS Kesehatan) yang ditandatangani presiden pada 5 Mei 2020, dan kebijakan kontroversial selanjutnya adalah tetap menggelar pilkada pada 9 Desember di tengah pandemi Covid-19 (Kompas.com).
Puncaknya pada Senin tanggal 5 Oktober 2020 UU Omnibus Law termasuk didalamnya UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) diresmikan. Hal ini tak ayal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat termasuk aksi demonstrasi di hampir semua kota di negeri ini.
Hal ini menunjukkan kebijakan-kebijakan yang ditelurkan penguasa tidak memenuhi hati rakyat (no feeling in). Dan hal ini tidaklah mengherankan ketika kita hidup didalam sistem sekularisme yaitu sebuah sistem yang memisahkan urusan keagamaan dengan kehidupan.
Berdasarkan KBBI, sekularisme diartikan sebagai paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sistem seperti inilah yang kemudian melahirkan paham liberalisme kapitalisme yaitu kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga termasuk didalamnya kebebasan dalam hak milik, kebebasan dalam pergaulan, kebebasan bersaing dan sebagainya.
Pada akhirnya, terjadilah persekongkolan pemodal-politisi-penguasa/pejabat. Kepentingan mereka dan keberlangsungan posisi, jabatan dan kekuasaan menjadi yang mereka utamakan. Akibatnya, kepentingan rakyat terabaikan. Kepentingan rakyat tidak lebih hanya dijadikan komoditi dan barang dagangan selama kampanye.
Mimpi tentang sistem politik bersih dan politisi yang bersih serta peduli pada kepentingan rakyat hanya bisa diwujudkan dengan sistem politik Islam. Didalam Islam, politik (as-siyasah) adalah bagian dari syariah, akidah Islam harus menjadi landasannya.
Paradigma politik Islam adalah pemeliharaan urusan umat baik didalam maupun diluar negeri sesuai hukum-hukum Islam. Dengan demikian yang menjadi perhatian adalah urusan dan kemaslahatan umat. Bahkan inilah yang menjadi ukuran kualitas seorang politisi dalam Islam.
Semua aktivitas politik itu bukan hanya berdimensi duniawi tetapi lebih melekat pada dimensi ukhrawi yaitu pertanggungjawaban dihadapan Allah atas sejauh mana ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan rakyat. Nabi SAW bersabda,
”Tiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan rakyatnya (orang-orang yang diurusnya).” (HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).
Dalam melaksanakan aktivitas politik mengoreksi penguasa, umat boleh saja mewakilkan kepada orang yang mereka pilih menjadi wakil mereka. Hanya saja wakil rakyat dalam Islam itu adalah wakil dalam melakukan koreksi (muhasabah) dan menyampaikan pendapat.
Dalam sistem politik Islam, pemilihan wakil umat itu adalah memilih orangnya bukan partainya, sebab dalam Islam kedaulatan adalah milik syara’ bukan milik rakyat (manusia). Penentuan anggaran dan pengangkatan pejabat adalah hak prerogatif Khalifah (kepala negara).
Semua ini untuk meminimalkan peluang wakil umat untuk berperan menjadi makelar jabatan, anggaran dan proyek sehingga kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pun benar-benar untuk kemaslahatan rakyat(umat).
Wallahu’alam bishawab
Penulis: Rahayu Kushartati (Pemerhati Umat, Komunitas Perempuan Hijrah Sorowako)