ZONATIMES.COM, Makassar – Munculnya wabah Covid-19 di Indonesia berdampak besar terhadap roda perekonomian. Karena kondisi tersebut, pemerintah berusaha mengatasi permasalahan krisis perekonomian dengan menyusun Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta kerja. RUU Cipta Kerja dipandang mampu menyelesaikan permasalahan di bidang ekonomi dan khususnya yang menghambat peningkatan investasi. Selain dari itu, RUU Cipta Kerja juga dipandang akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan bagi para masyarakat.
Omnibus Law merupakan revisi dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena dianggap banyaknya UU yang masih tumpang tindih di Indonesia sehingga DPR RI memutuskan Omnibus Law menjadi Undang-Undang (UU). Di sektor ini pemerintah menghapus, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengaku bersyukur telah disahkannya UU Cipta Kerja ini dan dalam pembukaan Indonesia Knowledge Forum (IKF) 2020, Selasa (6/10/2020) ia mengatakan bahwa pengesahan UU Cipta Kerja akan membantu pemerintah dalam memulihkan ekonomi nasional dan juga akan menarik banyak investasi sehingga dunia usaha akan bergerak kembali.
Dalam pengesahan ini, tujuh fraksi menyetujui RUU Cipta Kerja, dan beberapa di antaranya menerima dengan catatan, sementara dua fraksi yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolaknya. Fraksi Partai Demokrat melalui juru bicaranya Marwan Cik Hasan menyatakan bahwa pihaknya menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, karena “hak kaum pekerja dipinggirkan”.
Selain dari itu, dia juga menilai keberadaan RUU ini “terlalu kapitalistik dan neoliberalistik”. Marwan juga mengklaim materi dalam RUU ini “kurang transparan dan kurang melibatkan pekerja dan civil society.” Senada dengan Fraksi Partai Demokrat, fraksi PKS melalui juru bicara Amin AK juga menolak RUU Omnibus Law. Sejumlah politikus Partai Demokrat setelah melakukan interupsi dan akhirnya mereka melakukan aksi “walk out” atau meninggalkan ruangan.
Meski menuai banyak kontroversi, RUU Cipta Kerja ini tetap disahkan oleh DPR RI. Pengesahan tersebut dilaksanakan pada Senin 5 Oktober 2020 dalam Rapat Paripurna. Karena dianggap tidak transparan, sehingga sejumlah kelompok buruh dan mahasiswa melakukan demonstrasi tepat setelah hari pengesahan dilakukan yaitu pada tanggal 6-8 Oktober 2020.
Selain karena dianggap tidak transparan, ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja juga dianggap banyak menggerus hak-hak buruh dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, demonstrasi dilakukan sebagai langkah untuk mendesak pemerintah dan DPR RI agar menggagalkan RUU Cipta Kerja tersebut.
Dampak Pengesahan RUU Cipta Kerja bagi Pekerja di Indonesia.
Pertama, Pekerja terancam tidak menerima pesangon. UU Cipta Kerja menghapus 5 (lima) pasal mengenai pemberian pesangon. Hal tersebut berimbas kepada para pekerja dimana mereka terancam tidak akan menerima pesangon ketika mereka mengundurkan diri, mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau meninggal dunia.
Kedua, TKA akan lebih mudah masuk ke Republik Indonesia (RI).
Dengan pengesahan UU Cipta Kerja maka hal tersebut akan mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia. Hal ini dilakukan melalui Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Cipta Kerja yang mengubah dan menghapus sejumlah aturan tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Ketiga, Batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak dihapus. Dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah mengubah dan menghapus sejumlah pasal yang terkait dengan ketentuan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT). Salah satu poin yang menuai kontroversi adalah pemerintah menghilangkan batasan maksimal karyawan kontrak selama 3 tahun dalam UU Cipta Kerja.
Keempat, Jam lembur ditambah dan cuti panjang dihilangkan.
Dalam UU Cipta Kerja tepatnya Pasal 81 poin 22 mengubah pasal UU 78 UU Ketenagakerjaan tentang waktu kerja lembur. Dimana sebelumnya, UU 78 UU Ketenagakerjaan menyebutkan jika waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam seminggu. Namun dalam UU Cipta Kerja, waktu lembur bertambah menjadi paling lama 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
Kelima, UMK dihilangkan.
UU Cipta Kerja menghapus upah berdasarkan provinsi atau kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kota/kabupaten yang tertera dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Sebagai gantinya, UU Cipta Kerja menyatakan jika gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu yang tertera dalam pasal selipan 88 C UU Cipta Kerja.
Jika pemerintah dan DPR RI beranggapan bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja akan memiliki dampak yang baik bagi perekonomian, hal tersebut justru sebaliknya bagi para pekerja/ buruh. Para pekerja/ buruh berpandangan bahwa hak-hak mereka justru dipinggirkan dan hanya menguntungkan para investor. Seorang Bapak Ekonom, Faisal Basri juga mengatakan dalam Program TV Mata Najwa (Rabu/7/10/2020) bahwa “Investasi di Indonesia baik-baik saja dan bahkan pertumbuhan investasi tahunan di Indonesia itu lebih tinggi dari China, Malaysia, Thailand, Brazil, Afrika Selatan. Investasi kita hampir sama dengan India”.
Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatkan investasi hal tersebut tidak akan menjadi strategi dalam meningkatkan lapangan pekerjaan karena tujuan investasi adalah investasi dan meskipun investasi banyak tetapi hasilnya sedikit maka itu tidak akan mampu meningkatkan perekonomian.
Dengan melakukan demonstrasi dan mogok kerja, para pekerja berharap agar RUU Cipta Kerja dapat dibatalkan karena memiliki banyak dampak yang akan menyengsarakan mereka. Selain karena pendapatan pekerja yang berkurang akibat pandemic Covid-19, pengeluaran yang dibutuhkan oleh mereka juga tidak sedikit dalam mempertahankan hidup.
Sehingga para pekerja berharap agar pemerintah lebih memperhatikan kondisi mereka dan berlaku adil dalam mengambil keputusan. Selain itu, karena kondisi yang belum stabil akibat pandemi Covid-19, Pemerintah sepatutnya segera mengambil tindakan dan memberikan jawaban kepada para pekerja/buruh mengenai keputusan RUU Cipta Kerja ini.
Penulis: Kartini Kahar (Mahasiswa Akuntansi UIN Alauddin Makassar)