ZONATIMES.COM, Makassar – Ditengah pandemi yang tak kunjung usai, kabar menyedihkan datang dari Nias, Sumatera Utara. Seorang ibu berinsial MT (30 tahun) tega membunuh ketiga anaknya karena motif kesulitan ekonomi. Usai membunuh, MT mencoba bunuh diri dengan menggerek lehernya menggunakan parang, namun upaya tersebut gagal. Setelah di rujuk ke RSUD Gunungsitoli, MT sempat beberapa hari tidak mau makan, hingga menghembuskan nafas terakhir (VIVA 17/12/2020).
Kabar serupa juga datang dari Jakarta Pusat, ibu berinsial IS menganiaya anaknya sendiri hingga tewas. Diduga karena anaknya tidak memahami pelajaran saat belajar melalui daring. Ibu korban dan suaminya, LH, menyembunyikan pembunuhan tersebut, dengan cara membawa jenazah anaknya ke Cijaku, Lebak, menggunakan sepeda motor. Kasus ini terbongkar karena kecurigaan warga saat melihat tumpukan tanah yang masih basah, ketika digali, ditemukan jenazah korban dengan pakaian lengkap (KOMPAS.TV 17/12/2020).
Tingkat Kekerasan Terhadap Ibu Dan Anak Meningkat Selama Pandemi
Perempuan lebih rentan terkena gangguan psikologis dibandingkan laki-laki. Gejala Psikis seperti depresi, gangguan cemas, gangguan stres pasca trauma, baby blues hingga postpartum depression banyak mengintai kaum hawa. Selain karena pengaruh hormonal, tekanan hidup kerap menjadi faktor pemicu (stresor). Dengan begini, perempuan jadi lebih mudah untuk melakukan berbagai bentuk kekerasan hingga bunuh diri, jika tidak ditangani dengan baik. Tentu, anak-anak menjadi sasaran pelampiasan para ibu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengungkapkan, selama kurun waktu 2 Maret hingga 25 April 2020 terjadi 643 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rinciannya, 275 kasus dialami perempuan dewasa dengan 277 korban, serta 368 kasus terhadap anak-anak dengan 407 korban. Rinciannya, 300 anak perempuan korban dan 107 anak laki-laki. Seluruh data tersebut dihimpun dari Simfoni PPA dan LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan). (republika.co.id dan liputan6.com)
Melihat banyaknya kasus kekerasan dan psikis pada perempuan dan anak selama pandemi, Kantor Staf Presiden (KSP) membuka layanan psikologi bagi masyarakat umum yang terdampak Covid-19. Layanan ini bisa diakses melalui sambungan 119 ekstensi 8 dan UPTD Pemberdayaan Perempuan serta P2TP2A di berbagai daerah.
Menurut Mentri PPPA, layanan ini akan memberi tempat bagi perempuan apakah korban KDRT, perempuan pekerja migran, perempuan disabilitas, dan anak yang butuh perlindungan khusus seperti anak korban kekerasan, ekspolitasi, perlakuan salah, dan penelantaran baik secara online atau offline. (republika.co.id).
Rapuhnya ikatan keluarga, tentu menjadi hal yang sangat merugikan, mengingat disaat pandemi dan semua kegiatan dilakukan dari rumah, kehangatan dan kebahagiaan yang harusnya dipupuk untuk semua anggota keluarga, justru menjadi sumber masalah baru.
Kehidupan Meterialistik Sekuler Merobohkan Ketahanan Keluarga
Jika dikatakan pandemi menjadi faktor pemicu kekerasan dan psikis bagi ibu dan anak, perlu dilihat kembali, karena sebelum pandemi, hal tersebut sudah lumrah terjadi di tengah masyarakat.
Adapun sebagai muslim, harusnya kita meyakini bahwa pandemi adalah takdir yang Allâh tetapkan, harusnya kita berupaya sabar dalam melewatinya dan tidak berputus asa terhadap Allâh. Namun sebagai rakyat, kita patut mempertanyakan bagaimana sikap penguasa dalam mengurusi dan mengayomi selama pandemi.
Rapuhnya ikatan masyarakat mulai dari individu yang cenderung hidup individualistik, tak peduli sesama kecuali sebagian kecil saja, membuat sebagian orang merasa tersudutkan dan tidak memiliki tempat mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Kehidupan masyarakat yang materialistik dan sekuler karena memisahkan agama dari kehidupan, cenderung menjadikan masyarakat abai terhadap persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, tidak terlalu ambil pusing dan lebih melindungi kepentingan pribadi, kontrol sosial yang lemah menjadikan tatanan kehidupan ditengah masyarakat tidak memiliki pemikiran dan perasaan yang sama dalam menghadapi dan memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi. Adanya beragam layanan psikologis pun, tidak memberikan banyak keuntungan jika tidak di dukung dengan support system yang saling peduli satu sama lain.
Ditengah pandemi yang melanda, korupsi terhadap dana bansospun dilakukan, negara yang sejak awal menetapkan solusi yang cenderung berubah, justru hingga saat ini kualahan dalam menghadapi pandemi. Herd immunity, PSBB, hingga new normal tak kunjung menghentikan laju penularan virus, bahkan terus mengalami peningkatan.
Adanya keterwakilan perempuan di parlemen juga tidak memberikan dampak signifikan bagi perempuan dan anak.
Memahami Islam Tidak Sekedar Agama Ritual
Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Dengan memahami islam tidak sebatas agama ritual, tapi sistem kehidupan (nizhom) dalam mengatur seluruh aspek dalam kehidupan manusia, tidak memisahkan kehidupan dengan agama, tetapi menjadikan nilai-nilai islam sebagai asas dalam kehidupan mulai dari individu, masyarakat dan bernegara.
Disilnilah urgensi dakwah dalam melakukan penyadaran di tengah masyarakat, agar umat memahami bahwa nilai-nilai islam bertentangan dengan nilai materialistik yang hari ini dijunjung. Nilai-nilai islam datang dari Allâh yang Maha Mengetahui karakter peradaban manusia, nilai-nilai islam berlaku universal hingga akhir jaman, bahkan peradaban islam pernah memimpin dunia lebih dari 1300 tahun dengan menaungi umat Islam, Kristen dan Yahudi.
Kesejahteraan individu adalah prioritas dalam sistem islam, dengan begini, lahirnya masyarakat yang sehat mental dan fisik adalah sumber kekuatan bagi negara. Masyarakat yang sehat, memberikan dedikasi tinggi dalam semua bidang bagi kemajuan negara. Selain itu, pemerintah bekerja secara amanah dan penuh rasa takut kepada Allâh, akan menghindarkan mereka dari berbuat kerusakan dan kedzaliman, maka keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat.
Wallahu a’lam bish-showab.
Penulis : Juniwati Lafuku, S.Farm. (Pemerhati Sosial)