Adab Mallebi’ Perempuan Bugis dan Makassar

Adab Mallebi’ Perempuan Bugis dan Makassar – Oleh: Indrayanti

Setelah menciptakan Adam, Tuhan menciptakan seorang perempuan yaitu  Hawa,  sebagai pendamping hidup Adam, bukan 10 atau 100 orang teman.

Adab Mallebi Perempuan Bugis dan Makassar

Dewasa ini masih banyak yang mempertanyakan antara wanita dan perempuan. Ada yang mengatakan sama namun tidak sedikit pula yang mengatakan berbeda. Menurut etimologis, wanita bila berdasarkan Bahasa Jawa diartikan sebagai wani ditata atau mau diatur. Dalam rumah tangga, wanita adalah sosok yang dapat diatur dengan mengabdi dan taat kepada  suami. Bila dilihat dalam Bahasa Sansekerta, wanita berasal dari kata wan yang berarti nafsu. Oleh karena itu wanita mempunyai arti yang dinafsui atau obyek nafsu. Istilah seperti Wanita Tuna Susila atau wanita penggoda mempertegas bahwa kata wanita lebih memiliki makna konotasi.

Perempuan merupakan kata yang lebih mulia dan kaum feminis lebih menggunakan kata perempuan ketimbang wanita. Perempuan sendiri secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir, posisinya sejajar dengan pria. Di Indonesia, kata wanita lebih dominan digunakan pada masa orde lama hingga orde baru. Hal tersebut untuk mempertegas simbol agar wanita sesuai dengan “kodrat” yang sesungguhnya, yaitu halus, tunduk, patuh, mendukung, dan mendampingi. Keseriusan pemerintah pada masa itu seperti dengan membentuk Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW) serta organisasi istri-istri pegawai negeri sipil, yaitu dharma wanita yang kegiatannya memberikan dorongan dan kontribusi kepada suami agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik  kepada masyarakat baik sebagai abdi negara maupun abdi masyarakat.

Ngomongin Tentang Bugis Baca Juga: Pengaruh Bugis di Luar Negeri: Jejak Komunitas Bugis di Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina

Dampak dari makna konotasi dari kata wanita, menyebabkan perlakuan dan pandangan masyarakat menjadi rendah. Wanita menjadi sering dieksploitasi kewanitaannya untuk kepentingan bisnis. Contohnya seperti iklan-iklan dengan model wanita ‘menjual’ kemolekan tubuhnya. Demikian pula pada film-film, masih banyak peran wanita hanya sebagai pemanis dengan menggunakan pakaian minim bahkan sedikit seronok.

Karena makna konotasi yang lebih melekat pada kata wanita, maka pada tahun 1998 berubahlah menjadi perempuan. Hal tersebut didukung oleh pemerintah dengan mengganti Menteri Negara Urusan Peranan Wanita menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (MenegPP).

Berbeda dengan di Sulawesi Selatan, utamanya Suku Bugis/Makassar sejak jaman dahulu antara perempuan dan wanita memiliki persamaan makna. Sama-sama dimuliakan dimana posisi kaum hawa disejajarkan dengan kaum Adam. Salah satu persamaan posisi terlihat dari panggilan atau nama untuk kaum bangsawan. Baik laki-laki maupun perempuan diberi gelar yang sama yaitu daeng atau puang dan nama sama-sama diawali Andi.

Untuk pekerjaanpun baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Dalam kehidupan rumah tangga, ibu dan bapak bekerja sama dalam membesarkan dan menghidupi anak. Contohnya istri nelayan, kalau suaminya pergi melaut berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan, ia menggantikan peran suaminya dengan mencari nafkah seperti  dengan membuat ikan asin  dengan cara dijemur yang kemudian dijual di pasar.

Perempuan Bugis/Makassar diharapkan memiliki perilaku ma’lebbi. Ma’lebbi sendiri adalah perilaku  seorang perempuan yang mampu menjaga tata kramanya, baik secara verbal maupun nonverbal. Ma’lebbi sendiri adalah perilaku yang didasari oleh nilai siri’ na pesse yang merupakan falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan. Siri’ na pesse adalah harga diri yang berbalut rasa malu akan berbuat dosa. Perempuan Bugis/Makassar diharuskan berpenampilan layaknya perempuan, tidak boleh menyerupai laki-laki. Oleh karena itu posisi perempuan dalam keluarga Bugis/Makassar adalah pintu harga diri dan laki-laki adalah penjaga harga diri.

Penghargaan pada perempuan  tampak dari pemaknaan sehari-hari, contohnya anrong lima (ibu jari-Makassar). Makna dari anrong lima adalah dalam sebuah rumah hanya ibu yang bisa mengambil hati seluruh keluarga utamanya bila ada permasalahan. Itulah dalam jari-jari tangan, hanya ibu jari yang mampu menyentuh semua jari dengan gampang.

Demikian pula anrong rante (liontin) yang bermakna perempuan adalah penghias dan pemanis keluarga. Dari ungkapan-ungkapan tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan Bugis/Makassar merupakan sosok yang cerdas dan lembut sehingga mampu menjadi penengah dalam keluarga dan posisinya tetap tidak dibawah laki-laki melainkan menjadi penghias yang cantik dalam keluarga.

Oleh karena itu, Perempuan Bugis/Makassar adalah sosok yang dimuliakan juga dijaga kehormatannya. Dan ia pun harus mampu menjaga tata kramanya hingga dapat berperilaku mulia di mata manusia (ma’lebbi).

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Unhas