Mengenal Budaya Siri’ na Pesse

Oleh: Dr. Indrayanti

narekko siri’na naranreng, agape riatangngari, de’ nalabu’ matanna essoe’ ri tenngana bitarae, le bini mate massola-solae massola sola mateto, tau warani mateto, massola-sola le,  bini mate massola-solae, mate risantangi, mate rigollai

(jikalau siri’ menjadi taruhannya, apalagi yang hendak dipertimbangkan. Matahari itu tidak tenggelam di tengah langit. Lebih baik mati nekad. Orang yang nekad mati juga, dan orang yang tidak nekad pun mati. Pengecut mati juga, pemberani mati juga, maka lebih baik mati nekad mati yang bersantan dan mati diberi gula)

Budaya Bugis Siri’ na Pesse

Daerah Sulawesi Selatan memiliki local wisdom yang asli dan tidak mengadopsi budaya manapun yang disebut siri’ na pacce (Makassar) atau siri’ na pesse (Bugis). Mulai dari tulisannya yang disebut tulisan Lontara hingga kisah yang tertulis di Kitab Lagaligo, tidak memiliki kesamaan kisah dan juga merupakan epos terpanjang di seluruh dunia. Bila diartikan, siri’ berarti malu membuat dosa dan pacce/pesse adalah rasa iba atau empati. Namun siri’ na pacce/pesse berarti harga diri yang dijunjung tinggi.

Masyarakat Sulawesi Selatan menjadikan siri’ na pacce/pesse sebagai falsafah hidupnya. Maksudnya, segala perilaku mereka berlandaskan nilai siri’ na pacce/pesse. Menurut anggapan mereka, orang yang tidak memiliki siri’ posisinya sama dengan binatang. Seperti pepatah lama mengatakan naia tau de’ e siri’ na lainna olokkolo’e (manusia yang tidak mempunyai siri’ tidak ada bedanya dengan binatang). Itulah masyarakat Sulawesi Selatan sangat takut dicap sebagai orang yang disebut de’gaga siri’nya (tidak ada siri’nya).

Nilai siri’ na pacce/pesse ada dalam tubuh manusia Bugis/Makassar sejak dalam kandungan hingga ia meninggal. Atau sejak darah mengalir dalam tubuhnya, ia akan menganut falsafah tersebut. Ia tidak mau dipandang sebelah mata, sehingga bila sudah terusik siri’nya, ia rela meninggalkan kampung halamannya untuk memulihkan siri’nya.

Nilai siri’ juga merupakan motivasi masyarakat Bugis/Makassar dalam mencukupi kebutuhannya untuk menjadi layak di mata sesama manusia. Sehingga mereka berprinsip lebih baik mati berdarah dari pada mati kelaparan (le’bini mate ma’darae, namate temmanre). Prinsip tersebut menjadikan mereka orang yang giat dalam mencari uang yang mengarah kepada gengsi. Karena ajang pamer adalah cara mereka menegaskan kalau mereka sukses. Seperti para perempuan menggunakan emas atau busana yang berbeda bila sudah naik haji. Sekalipun anak kecil, bila sudah naik haji, penggilan haji melekat. Agar orang tau bahwa anak tersebut sudah pernah naik haji.

Nilai gengsi pada masyarakat Bugis/Makassar telah ada sejak jaman dulu. Hal itulah yang menjadikan makna uang pannai dan mahar menjadi kabur. Banyak yang beranggapan uang pannai adalah harga yang harus diganti karena status perempuan yang berdarah bangsawan. Dan sekarang segala kelebihan terhitung dalam uang pannai, seperti PNS, Haji, dll. Padahal uang pannai adalah uang yang digunakan untuk perayaan, dimana jaman dulu perayaan untuk kaum bangsawan 7 hari 7 malam dengan memotong kerbau sementara mahar adalah harga tetap untuk menegaskan strata. Seperti kaum darah biru ditetapkan 180 real beserta emas. Jadi sebenarnya antara uang pannai dan mahar berbeda, namun karena pergeseran nilai dan terbalut gengsi, menjadikan uang pannai menjadi sangat mahal. Bagi yang tidak memahami, mereka menganggap bahwa keluarga Bugis/Makassar ‘menjual’ anak perempuannya karena gengsi. Tapi yang memahami dan memang serius maka akan berupaya memenuhi syarat tersebut.

Gengsi dan siri’ memang tidak bisa dipisahkan dalam diri masyarakat Bugis/Makassar. Bahkan bisa dikatakan gengsi adalah penggerak orang Bugis/Makassar agar menjadi sukses supaya mampu menjaga siri’ diri dan keluarga. Karena dengan kaya, ia dapat membantu keluarga yang tidak mampu sehingga tujuan menjadi tau sipakatau (memanusiakan manusia) tercapai.

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Unhas