Penulis: Arisnawawi
Zonatimes.com – ”Kakak Unem!.., Kak Aris… janganki pulang, nanti sediiih” celoteh seorang perempuan diantara segerombolan anak-anak di samping kananku. Mereka bermuka layu, nada suaranya pelan merayu sambil menatap sayu. Tertunduk sedih, saat kami menatap haru. Deretan pohon kelapa yang menyaksikan kini merapatkan daun-daun tersipu malu. Perih!.
Kejadian ini berlangsung sore hari menjelang magrib di pinggir pantai. Saya dan tiga orang delegasi ENJ UNM 2019 sedang melakukan proses finishing panggung ramah tamah. Nelayan diujung senja mulai bergegas pulang bersama hasil tangkapannya.
“Tok, tok, tok,” suara palu menumbuk paku. Mereka tak jenuh memperhatikan kami menghias panggung pentas nanti malam. Yaah, keesokannya kita sudah harus meninggalkan Pulau Gusung. Artinya berpamitan meninggalkan mereka.
Aku hanya mampu membalas senyum.
“Kalau nanti pulangki kak toh, tidak adami diajak belajar bersama, main bersama, sedih” sambung ia. Dengan mata berkaca kupandang mereka satu persatu. “Kita akan bertemu kembali, belajar yang rajin yah” bergetar suara saat berusaha menyemangatinya.
Pulau Gusung, salah satu dari deretan pulau-pulau kecil di kabupaten Kepulauan Selayar. Satu titik bercak dari 17.504 pulau yang tersebar di Nusantara, berada di bawah kaki pulau Sulawesi. Gusung terhampar di kecamatan Bontoharu. Pulau ini berada tepat di sebelah barat pulau Selayar dengan jarak kisaran satu kilometer. Sekitar lima belas menit perjalanan jalur laut dengan perahu mesin tempel atau jolloro sebutan warga setempat dari ibu kota Benteng, ibu kota kabupaten Kepulauan Selayar.
Lokasi pengabdian Ekspedisi Nusantara Jaya tahun ini bertempat di desa Bontolebang. Desa yang terdiri dari 818 jiwa penduduk ini terdiri dari tiga dusun antara lain dusun Gusung Lengu, Gusung Barat dan Gusung Timur. Pulau yang menyerupai bentuk pisang ini merupakan pulau terluar bagian barat kabupaten Kepulauan Selayar.
Bontolebang sendiri tidak memiliki akses menuju desa lain kecuali bantuan perahu nelayan. Kami baru menginjakkan kaki ke tanah berpasir putih ini dalam kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya Universitas Negeri Makassar (ENJ UNM) 2019. Program tahunan Kementerian Koordinator Kemaritiman Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Perguruan Tinggi Berakreditasi A yang tersebar di Indonesia.
Tiga bulan lebih kami menyiapkan segala sesuatunya, mempersiapkan bekal untuk satu bulan penuh menjalani hidup di pulau asing. Tempat dan suasana yang sama sekali baru
Dengan menggunakan bus, pukul sebelas malam kami meninggalkan gedung Phinisi UNM. Melewati kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, menuju ke pelabuhan penyeberangan bira Bulukumba. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan kapal feri menuju pelabuhan pamatata Selayar. Tiga jam lebih diguncang dalam kapal kemudian dilanjutkan perjalanan dengan bus menuju kota Benteng,
Untuk sampai ke pulau Gusung kami harus menempuh jalur laut menggunakan perahu jolloro. Rasa penasaran mulai bertelanjang saat perahu yang kami tumpangi bersandar di dermaga dusun Gusung Barat desa Bontolebang. Senyum dan Senja menyambut kami kala itu.
Matahari mulai menyingsing. Barisan pohon kelapa, irama ombak dan sepo-sepoian angin laut mengiringi sejengkal demi sejengkal langkah kami menuju sekolah. Surga Pengetahuan ini bersebelahan dengan laut. Keindahan terpancar saat menatap di luar jendela dan kebahagiaan menyelimuti saat menatap dalam jendela, yah mereka. Saya sedang berada di salah satu ruang kelas SDN 36 Kepulauan Selayar.
Menyerupai suami istri, Sekola Dasar (SD) dan Sekolah Manengah Pertama (SMP) pulau ini menempati satu atap berdua. Kedua sekolah yang berdiri di atas lahan sekitar 50.000 meter persegi tersebut hanya memiliki satu pintu masuk. Dahulu sekolah ini dinamakan SD/SMP SATAP Bontolebang. Sekarang sudah berubah menjadi UPT SDN 36/SMP 30 Kepulauan Selayar.
Setiba kami disana, anak-anak menyambut kami dengan mesra. Beberapa dari mereka langsung menggandeng tangan kami masuk ke sekolahnya. Yahh, sekolah adalah kediaman paling sering saya kunjungi selaku anggota dari divisi pendidikan.
Pihak Sekolah, baik SD dan SMP membuka lebar kesempatan pelaksanaan program-program yang kami tawarkan, mulai dari sosialisasi pentingnya pendidikan, eksperimen sederhana, sosialisasi kesehatan, media pembelajaran vertual lab, kenali tubuhku, tubuhku prioritasku, sosialisai bahaya narkoba dan aksi bersih pantai bersama .
Di tempat distribusi pengatahuan ini perhatian kami dicuri sekawanan perempuan dengan lihainya memainkan bola takraw.
“Ngeri” tuturku sambil menggeleng kepada teman-teman delegasi ENJ. Kemapanan pengalaman saya tentang sosok perempuan perlahan mulai terbongkar dengan melihat perempuan Gusung.
Dari pengakuan beberapa guru, siswa SD dan SMP lebih senang dengan mata pelajaran olahraga dibanding mata pelajaran yang lain. Olahraga favorite mereka adalah takraw. Waktu jeda istirahat keseringan mereka habiskan bermain bola takraw di halaman sekolah. Terik matahari bukan masalah bagi mereka. Dari pengakuan kepala sekolah juga, jika siswa keluar bertanding jarang tidak menenteng piala pulang.
Panas terik matahari makin memuncak, posisinya tepat di atas ubun-ubun kepala. Aku duduk berteduh seberang jalan di bawah pohon pisang yang berhadapan dengan pagar sekolah. Kuperhatikan siswa SD dan SMP yang mulai berbondong-bondong keluar dari pintu sekolah dengan ragam ekspresinya. Ada yang berteriak tidak jelas, ada yang ketawa-ketawa sambil mengobrol, dan adapula bermuka kecut tampak kesal. Emm, waktu belajar-mengajar baru saja telah usai.
“Prakkk” terdengar suara bahu yang dipukul dengan kerasnya. Cepat ia mengalihkan perhatianku.
Seorang siswi SMP kelas satu baru saja kena kejailan teman lelakinya. Ia tiba-tiba mematung ditengah jalan. Sambil berdiri, kepalanya agak di tekuk ke bawah, air matanya bercucuran dalam kebisuan. Kerudung biru navi basah seketika.
Sontak kaget pelaku saat melihatnya menangis. Lelaki bertubuh kurus itu langsung lari terbirit-birit menjauh sejauh mungkin. Ia adalah lelaki dengan label stereotipe buruk di pulau ini dari beberapa pengakuan temannya.
Kudekap cepat ia kesampingku. Berusaha menghapus kesedihannya.
“Begitu memang wahyudi kak, nasuka kasi menangis orang” sambar temannya saat melihat kami di bawah pohon sedang berteduh.
Perkenalan saya dengan Putri bermula disini. Hingga saatnya pada tanggal 17 Juli telah di buka Ruang Literasi untuk kalangan anak SMP. Kegiatan ini rutin dilakukan setiap hari senin, rabu dan jumat. Dari belasan peserta, perempuan dari dusun Gusung Timur ini menjadi salah satu anggota yang paling heboh dan kerap mengundang tawa.
Salah satu keterbatasan dari anak-anak pulau gusung yakni belum mahir berbahasa Indonesia, termasuk si Putri.
Sebuah momen, ketika sedang berlangsung ruang literasi. Dengan berbahasa Indonesia, saya berbagi pengetahuan bersama sekawanan pelajar dari SMP tentang literasi. Kerap kali Putri berbuat jail, sengaja bertanya menggunakan bahasa Selayar lalu tertawa saat aku terdiam kaku.
“andaki make bahasa silajara ampa bisaraki surang nakke, nakke gele a ngissek” (jangan pakai bahasa selayar kalau bicara sama kakak, kakak tidak tahu) tegur temannya lembut saat putri berulah lagi yang ke sekian kalinya. Tapi teguran itu pula memakai bahasa Selayar. Tambah tidak karuan apa yang mereka bicarakan dalam pikirku.
Tak mau kalah saya jawab pertanyaanya dengan bahasa lokal saya, bahasa Bugis. Bingunglah ia dan seluruh peserta, riuh tawa menyertai kebingungannya. Hhh.
Lain Arafah Rianti, lain pula Kartini
Lain Putri, lain pula Andini
Jika dalam ruang literasi putri sering mengundang tawa. Andini sering menjemput keseriusan. Ia getol bertanya sampai keakar-akarnya.
“Kak, bagaimana caranya menulis dengan baik?, Kak bagaimana caranya tulisanta bisa terbit online?. Kak, bagaimana caranya tulisanta muncul di surat kabar?. kak…? kak..? kak…?” dst. Tanyanya sigap penuh dengan semangat.
Andini setingkat di Sekolah dengan Putri, baru saja ia menginjakkan kaki di SMP . Perempuan bertubuh anggun ini salah seorang peserta ruang literasi yang doyan menulis, tugasnya tidak pernah mangkrak. Untuk seumuran SMP, tulisanya enak dibaca. Jika kita mendengarkan bicara mungkin kita akan ketagihan. Nada tinggi dan nada rendah ia mainkan. Gadis dari dusun Lengu ini seolah sudah menamati buku-buku retorika ala Aristoles sang filsuf asal Yunani. Perempuan cerdas, ia mengakar di kepalaku saat terbayang dengannya.
Dia pemegang peringkat satu di sekolahnya saat saya iseng bertanya ke Putri pada peristiwa lain di dapur posko. Nama panggilannya sebenarnya adalah kristi oleh teman sebayanya. Saya panggil ia dengan sebutan Andini, takutnya lidah keseleo sebutnya kristi jadi krispi. Kan rempong lagi jika ia sampai menggugat di pengadilan dengan tuntutan pencemaran nama baik.
Andini pernah tersohor karena menjaili seluruh lelaki ENJ. Ia dibawah komando kerjasama Pak Malki sebagai kepala dusun Gusung Lengu nge prank kami saat mendatangi tausiah ke dua kematian seorang warga Lengu. Katanya sih prank ini untuk menghibur keluarga almarhum yang dirundung kesedihan.
Kejadian itu sekitar pukul 21:00 seusai pengajian. Semua delegasi laki-laki muslim hadir dalam pengajian ini, dan berhasil menamatkan satu jus Al-Quran tiap orang. Belum berselang lima belas menit usai delegasi membaca Al-Quran, Andini langsung duduk mengambil posisi berhadapan dengan seisi ruangan. Posisinya siap membawakan tausiah kepada khalayak.
“Assalmualaikum warahmatullahi wabarakatu. Pertama-tama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW….” sambutannya dengan penuh ketenangan. Awalnya saya mengira santriwati pesantren yang sengaja dihadirkan oleh keluarga almarhum untuk tausiah.
Wajahnya samar-samar malam itu dengan tertutup bayangan ujung atas kerudung hitam panjangnya. Di tambah cahaya lampu yang meredup-redup.
“… Para hadirin sekalian bahwa malam ini kita akan mendegarkan sedikit tausiah dari kakak-kakak ENJ UNM” dengan nada bangga ia sampaiakan kepada seluruh khalayak yang bertamu di kediaman rumah kayu itu.
“Kita mulai dari ujung, dari Kakak Yusuf untuk menyampaian tausiahnya”. Kaget bukan kepalang. Hening seketika ruangan. Hanya terdengar suara mesin genset yang menjadi alat bantu pencahayaan malam itu. Sebagai dusun yang memiliki masyarakat terbanyak di desa Bontolebang, Lengu masih sangat susah untuk menikmati cahaya pada malam hari. Pembangkit Listrik Tenaga Surya sebelumnya di dusun itu mengalami kerusakan.
Salah satu cara untuk menikmati cahaya lampu dengan menggunakan mesin genset. Tetapi kebanyakan rumah masyarakat masih tetap bertahan menggunakan lentera dari botol bersumbu kain dengan minyak tanah. Dan kadang tidak memakai peneranagan buatan ketika Tuhan bermurah hati memancarkan rembulan tanpa awan penghalang. Cahaya itu masuk dari sela-sela dinding rumah yang terbuat dari papan atau bambu.
Wajah delegasi tampak menegang lagi kaku. Bagai kanebo kering, dibawah cahaya remang-remang dada delegasi berdetak kencang. Ada yang spontan menggarut-garut kepala sambil cengengesan.
Kami diambang keseriusan di rumah almarhum. Bagaimana tidak, pesan agama yang sakral akan di dakwahkan tanpa bekal dan kesepakatan sebelumnya. Ditambah suasana duka masih menyelimuti keluarga. Sedikit bocoran, semua delegasi ENJ UNM tidak ada dari basic ilmu agama. Horor.
“Seorang mahasiswa diharuskan cerdas dan multi talenta. Tentu adek-adek sekalian sudah melewati pengalaman yang panjang. Bukan soalan kan memberikan nasehat atau sekilas berbagi ilmu kepada kami?” sambung pak dusun Lengu bijak menyemangati.
“Kita di prank teman-teman” kata seorang dari kami, diikuti rentetan tawa oleh tamu.
Akhirnya semua delegasi menyampaikan tausiahnya dengan durasi waktu tujuh sampai sepuluh menit. Tidak sedikit delegasi yang ternyata mumpuni membawakan ceramah-ceramah agama.
Stereotipe perempuan desa yang pemalu, terbelakang dalam ilmu dan kurang cerdas? Kristi Andini membongkar kemapanan pengatahuan itu.
Sebelum kami benar-benar pulang, ia sempatkan membuat sebuah tulisan untuk beberapa delegasi. Saya termasuk orang yang mencicipi tulisannya. Andini salah satu perempuan yang mengagumkan dari anak-anak seusianya yang saya kenal dari pulau Gusung.
Jika andini tampil sebagai perempuan idealis, maka beda dengan yang satu ini. Namanya Okta. Bertubuh kecil dan agak kurus. Anak bungsu dari Ibu desa Bontolebang.
Menjelang senja, kami dikagetkan dengan sosok perempuan kecil yang memanjat tiang bambu. Tinggi tiang itu kisaran 3 – 4 meter. Tiang bambu itu adalah kaki dari dudukan pekerja bangunan renovasi plafon di kantor BPD. Cara ia memanjat bambu mirip dengan laki-laki memanjat pohon kelapa, bahkan lebih ekstrem. Cengkraman tangan dan kakinya tidak diragukan, dialah Oktavia gadis dari dusun Gusung Barat.
Sambil melambai sesampai ia di atas, perempuan kelas dua SD ini ketawa cengengesan menatap kami di bawah keheranan. Si… perempuan biner, yah Okta orangnya. Kalau tidak sedang kita temui dalam keadaan penuh keceriaan, yah kemungkinan besarnya kita menemukannya dililit kesedihan. Tak hanya bambu, pohon kayu jawa atau jaha sebutan warga lokal di samping kantor desa dan kayu jaha depan rumahnya telah berulang kali ia taklukkan.
“Kakak, bagus gambar gunungku toh? Toh?. Toooohh?”. Suaranya melengking sedikit memaksa sambil mnunjukkan kertas penuh bercak dan goresan kuas cat. Bentuknya menyerupai atap rumah yang terkena air hujan, segitiga sama kaki. “Iye bagus okta, hati-hati dengan catnya” jawabku tak mau melukai keceriaannya. Ia lalu melanjutkan kembali dengan pnuh kegembiaraan.
Kejadian ini berlangsung di perpustakaan lumba-lumba. Pas berhadapan dengan kantor desa, sedang kantor desa berada disamping rumah kepala desa, ayahnya. Hampir setiap hari Okta habiskan waktu bermainnya di bengkel pengatahuan ini. Apalagi jika dilaksanakan calistung (catat, tulis dan menghitung) yang menjadi program kerja rutin hari senin, rabu, kamis delegasi UNM, ia tambah bersemangat.
Terlebih jika diadakan kegiatan pembuatan kerajianan tangan. Dibawa komando Egunia sebagai delegasi ENJ UNM dari divisi Ekonomi Kreatif semua anak-anak bersuka ria. Bawaannya yang menarik perhatian menjadi idola anak-anak seantero Gusung. Sebelum pelaksanaan tidak lupa ia buat susu dancow. Sengaja ia siapkan untuk menarik perhatian anak-anak. Okta salah seorang paling getol menunggu momen ini.
Nominasi anak SD yang paling sering menangis mungkin pula disandang oleh Oktavia. Beberapa kali menangis lantaran Ibunya tidak ia dapatkan sepulang dari bermain. Paling seringsih berselisih degan saudaranya, Resti. Apapun Resti lakukan seakan tidak pernah menyenangkan hatinya.
Diakhir, kami baru tahu cara jitu menenangkannya. Ah, dengan cara digendong atau mempertemukan cepat kepada Ibunya.
Pernah suatu pagi. Saat saya hendak mengantarnya bersama Resti menuju ke sekolah. Motor yang biasa dipakai mogok, kehabisan bensin. Sudah hampir setengah delapan, anak-anak dari tadi sudah lalu-lalang menuju sekolah.
“Resti pergiko beli bensin, cepaaat” perintahnya kepada Resti. Namun sebelum perintah tuan Okta, Ibu sudah meminta tolong kepada Resti untuk segera membeli bensin. Hanya saja perempuan kelas lima SD ini masih menunggu uang pembelian. Segera setelah ia terima perempuan penyabar ini menuju warung depan, jaraknya berkisar seratus meter.
Berselang lima menit kepergian Resti, Okta mundur beberapa langkah dan… tiba-tiba duduk di pasir, merengek sambil menendang-nendang. Sontak saya di buat kaget, “tidak mauka saya terlambat nah?” keluhnya menatap padaku sambil mengucek ucek kedua matanya dengan lengan tangan kanannya.
“Kenapa lama sekaliko dari beliii?”. Ia kesal dan marah tak karuan melihat Resti menenteng botol bensin dengan setengah berlari.
Tak mau memperpanjang masalah, saya hiraukan kejadian barusan. Cepat saya hidupkan motor dan mengajak mereka berdua naik. Di pertengahan jalan Okta kembali berteriak, “kaak, kaaak, saya lupa ambil tongkatku di kantor desa” disambungnya dengan ketawa cengengesan. “kembali kak, aaayo, kembali kak aayooo” sambarnya memohon.
…
“Kembali kak, aayooo” mungkin ini kata penutup tulisan ini. Berat hati meninggalkan hamparan keunikan di pulau ini. Mudah-mudahan kita dipertemukan kembali, bermesraan dengan keunikan yang lebih luar biasa.
“Kak, janganki pulang, nanti sedih. Kembali kak, ayoooo”
*Penulis merupakan delegasi Ekspedisi Nusantara Jaya Universitas Negeri Makassar 2019.