ZONATIMES.COM, Opini – Mungkin pertanyaan mendasar yang timbul dalam benak kita, mengapa cinta dikatakan sebagai seni? Bukankah sederhananya cinta ialah relasi antara indvidu dengan individu lainnya, lantas dari sudut mananyakah sehingga cinta di katakan sebagai seni?
“Cinta adalah seni”, perlu kita pahami bahwa cinta adalah seni berarti cinta butuh pengetahuan dan upaya, ataukah cinta itu suatu sensasi nyaman, yang kita alami semata karena kesempatan, yang mana hanya orang beruntung saja yang dapat “jatuh cinta”?
Dan jika kita menelaah relasi sosial kita, terutamanya kaum muda-mudi saat ini mayoritas dari mereka meyakini premis kedua sebagaimana yang saya terangkan di atas.
Salah satu problem sosial dalam analisi saya, yang saat ini menjadi lawan pemuda-pemudi kita ialah mengenai persoalan cinta. Bukannya orang tak percaya bahwa cinta itu penting.
Pada relasi sosial di masyarakat kita. Terkhususnya kaum muda-mudi kita, mereka mendambakan cinta, hingga tak sadar atau bahkan sadar mereka terkungkung dalam imaji cinta yang disebabkan oleh film tentang kisah cinta bahagia dan tak bahagia yang ia tonton, serta mereka mendengarkan lagu tentang cinta-tapi nyaris tak terpikir bahwa cinta perlu dipelajari.
Ada beberapa premis yang sependek dari pemahaman saya baik tunggal maupun gabunga, yang mendasari dan cenderung membenarkan mengapa orang bersikap ganjil, dari kebanyakan kaum pemuda-pemudi kita atau bahkan orang yang telah berkeluarga sekalipun, beranggapan bahwa soal cinta yang terpenting adalah dicintai, bukannya mencintai.
Perlu kita memahami, di sini bukannya kapasitas seseorang untuk mencintai. Di sini bagi mereka ialah bagaimana agar dicintai, bagaiamana pantas dicintai.
Seringkali kita dapati ada beberapa individu dalam mengejar tujuan ini mereka menempuh beberapa cara: pertama, dan ini cenderung dipakai oleh laki-laki, ialah dengan menjadi sukses, berkuasa, atau sekaya mungkin, guna untuk menarik perhatian seorang perempuan. Kedua, cenderung dipakai oleh perempuan, dengan membuat dirinya menarik, merawat tubuh, dan pakaian. Ketiga, mungkin ini yang seringkali dipakai oleh senior-senior di kampus dalam hal menaklukkan hati maba atau disebut mahasiswa baru, dengan bersikap menyenangkan, berbicara menarik dan lugu.
Cara-cara menjadi orang yang disukai (loveable) sama dengan cara-cara meraih sukses “untuk mendapatkan banyak teman dan punya pengaruh dalam masyarakat”. Faktanya dalam sosial kita, bagi kebanyakan orang dalam budaya kita, menjadi loveable pada dasarnya merupakan gabungan popularitas dan sex appeal.
Jika “cinta adalah seni” tentunya ada yang mesti kita pelajari, lantas apa yang kita pelajari jika cinta adalah seni?. Tak ada yang perlu dipelajari tentang cinta, dibalik pendirian ini ialah premis kedua, yakni asumsi bahwa persoalan cinta merupakan persoalan “obyek”, bukan persoalan “kemampuan”. Fakta direalitas kebanyakan orang mengira bahwa mencintai itu mudah, tetapi menemukan obyek yang tepat untuk mencintai dan dicintai olehnya itu sulit.
Beberapa penyebab sikap ini berakar dalam perkembangan masyarakat modern, salahsatunya adalah perubahan besar yang terjadi pada abad 20 terkait memilih “obyek cinta”. Dimana pada zaman victoria, seperti banyak kebudayaan tradisional lainnya, cinta bukanlah pengalaman pribadi spontan yang membawa pada pernikahan.
Sebaliknya, pernikahan diikat oleh persetujuan, baik oleh keluarga masing-masing atau makelar pernikahan, atau tanpa bantuan perantara semacama itu (dalam budaya Bugis Makassar dikatakan sebagai “silarian” yang mana sangat tidak disukai oleh orang Bugis Makassar). Pernikahan diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial, dan cinta diharapkan tumbuh setelah menikah.
Pada beberapa generasi terakhir, konsep cinta romantis telah diterima hampir di seluruh dunia barat. Di Amerika, meskipun masih ada yang mempertimbangkan bentuk konvensional, tapi banyak orang mencari “Cinta romantis”, mencari pengalaman cinta persona yang akan membawa pada pernikahan. Konsep baru tentang kebebasan dalam cinta ini jelas telah memperbesar pentingnya obyek cinta, yang bertentangan dengan fungsi cinta.
Faktor ini berkaitan erat dengan karakteristik utama budaya kontemporer. Dimana kebudayaan kita berdasar pada hasrat membeli, pada gagasan tentang pertukaran saling menguntungkan. Manusia modern bahagia ketika melihat etalase toko, dan ketika membeli segala yang dia sanggup, baik lunas maupun mencicil. Laki-laki dan perempuan memandang orang lain dalam cara yang sama. Bagi laki-laki, perempuan yang menarik-dan bagi perempuan, lelaki yang menarik-adalah hadiah yang mereka cari.
Makna “menarik” biasanya suatu paket kualitas yang disukai dan dicari dalam pasar kepribadian. Apa yang secara spesifik membuat seseorang menarik bergantung pada selera zaman, baik dalam hal fisik maupun mental. Selama dekade 20-an, perempuan yang minum dan merokok, kuat dan seksi, dianggap menarik; yang kemudian selera hari ini menuntut perempuan lebih rumahan dan malu-malu.
Pada akhir abad 19 dan awal abad ini, pria dituntut agresif dan ambisius. Sekarang dia harus ramah dan sabar, supaya jadi “paket” menarik. Namun demikian, tumbuhnya rasa jatuh cinta biasanya hanya bila terkait dengan komoditas-komoditas manusia yang berada dalam jangkauan kemampuan tukarnya, misalnya saya punya penawaran; obyeknya harus memenuhi nilai masyarakat, dan disaat yang sama dia harus menginginkan saya, berdasarkan kualitas dan kemampuan saya yang tampak maupun tak tampak. Maka dua orang jatuh cinta saat mereka merasa telah menemukan obyek terbaik yang tersedia di pasar, mengingat keterbatasan nilai tukar mereka sendiri, sering kali seperti membeli real estate, memainkan peran besar dalam tawar menawar ini.
Dalam kebudayaan di mana orientasi dagang berlaku, di mana kesuksesan materi bernilai luar biasa, tak mengejutkan bahwa relasi cinta manusia mengikuti pola pertukaran sama, yaitu pola yang menguasai komoditas dan pasar tenaga kerja.
Penulis: Arlan Audia Ningrat, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar