ZONATIMES.COM, Makassar – Ketenaran demokrasi sebagai sistem pemerintahan di dunia tidak diragukan lagi. Hampir seluruh negara mengadopsi, bahkan negeri yang mayoritas beragam Islam. Upaya menempatkan demokrasi dalam sebuah sistem tatanegara sebenarnya tak lepas dari arahan para penjajah. Seperti yang telah diketahui, demokrasi lahir dari rahim negara penjajah yang jauh dari ajaran Islam. Sehingga perlu untuk memahami kembali esensi hakiki demokrasi.
Negara yang menyatakan dirinya negara yang berdemokrasi. sangat menjunjung tinggi nilai demokrasi, diduga telah melakukan menangggalkan keadilan. Seperti kasus- kasus hukum yang menjerat para koruptor seperti, Joko Djndra yang merugikan negara Rp 940 miliar dan hanya dijerat 2 tahun penjara. Juga, buron Harun Masiku dalam kasus dugaan suap 600 juta Wahyu Setiawan. Kasus dugaan korupsi izin ekspor benih lobster, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar. Menteri Juliari diduga kuat menerima suap bantuan sosial (bansos) penanganan pandemi Covid-19 menerima Rp17 miliar. Sejumlah kasus diatas, masih berjalan dan sebagian masih menunggu penyelidikan lebih lanjut.
Berbeda drastis dengan kasus yang menjerat para tokoh agama. Seperti, Habib Rizieq Shihab dengan kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dijadikan tersangaka dengan pidana 6 tahun penjara. Juga, kasus Ustadz Maheer at-tuwaalibi dan Gus Nur dijerat dengan kasus pelanggaran UU ITE. Mereka telah menjalani hukuman, masuk dalam jeruji besi tanpa membutuhkan proses yang lama. Menurut pakar hukum tatanegara Refli Harun kasusnya terkesan dipaksakan.
Apa yang disampaikan anggota Komisi II DPR RI fraksi PKS Nasir Djamil (RMOL,12/12/2020), bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berharap, aparat kepolisian dapat berlaku adil dan transparan dalam memproses hukum Habib Rizieq Shihab (HRS). PKS berharap agar orang nomor satu di FPI itu tidak ditahan dalam rangka menjaga keseimbangan penegakan hukum.
Penanganan kasus hukum yang sangat jauh berbeda. Penegakan hukum di negara demokrasi sepertinya tidak semanis slogan-slogan yang dihembuskan. Berkaca pada kasus-kasus yang menimpa negara ini dan penegakan hukum. Kita patut bertanya dan berfikir sejenak, mengapa sistem seperti ini masih dipertahankan?
Dasar Yang Rusak
Dalam sejarahnya, demokrasi dipakai oleh negara barat untuk menyelesaikan sengketa antara pemuka agama dan pemilik kekuasaan. Jalan demokrasi dipilih untuk menyisiasati agar tak terjadi gejolak antara kedua belah pihak. Dimana pemuka agama hanya di tempat ibadah saja, dan para penguasa berwenang menjalankan pemerintahan.
Dari sinilah, lahir ide sekularisme (memudahkan agama dengan kehidupan). Dalam menjalankan roda pemerintahan, agama tidak boleh sedikitpun mencampuri urusan negara. Dengan asas ini, wajar jika terjadi banyak penyelewengan dalam mengurus negara. Sebab, agama tidak lagi menjadi pengontrol dalam membuat kebijakan.
Walhasil, sulit menjerat pelaku dengan hukuman maksimal, sulit menemukan borunan yang telah terbukti merugikan negara, sulit menekan kasus korupsi ibarat kata “tertangkap satu, muncul seribu”. Standar hukum seperti ini, membuat para pelaku tidak takut dengan jeruji besi. Sebab, semua bisa diatasi dengan kekuatan modal. Nah, disinilah peran kapitalis yang menegakkan kaki-kaki para koruptor kembali bebas.
Berbeda dengan penanganan kasus yang menyeret sejumlah Ulama. Tak butuh waktu lama. Terduga dapat berubah dengan cepat .enjadi ‘tersangka’. Bukan hanya tokoh dan para Ulama, masyarakat secara umum pun perlu memperoleh keadilan. Tidak semena-mena dalam memutuskan suatu perkara. Sehingga, masyarakat tidak merasa takut dan diawasi dalam menyampaikan seuatu kebenaran. Keadilan selayaknya harus dirasakan setiap elemen masyarakat. Tanpa memandang status sosial di tengah masyarakat. Negara selayaknya memberikan jaminan rasa aman kepada rakyat. Sehingga keadilan dan kebenaran dapat diraih.
Sistem Hanya Islam Terbaik
Adapun sistem bernegara dan bermasyarakat sekarang, yaitu sistem demokrasi, sama sekali bukan ajaran Islam. Melainkan konsep dari kafir penjajah yang sebenarnya haram diterapkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Demokrasi disebut sistem kufur, tiada lain karena menyerahkan hak menetapkan hukum pada manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah hak Allah semata (QS Al-An`am: 57).
Didalam Khilafah, sumber hukum yang wajib ditegakkan dan diakui syara’ hanya berasal dari Al Quran, As Sunnah, Ijma Shahabat dan Qiyas. Setelah diadopsinya sumber hukum tersebut, maka seluruh hukum yang berasal Al Quran, As Sunnah, Ijma Shahabat dan Qiyas, secara pasti akan mengikat seluruh rakyat.
Sehingga, tidak ada celah sedikitpun untuk menyalahi proses penegakan hukum. Jika ada pihak tertentu yang ingin memanipulasi kebenaran. Sebab, standarisasi penegakan hukum yang berlaku yakni hukum syara’ bukan hukum buatan manusia. Seperti sistem demokrasi yang erat dengan kepentingan segelintir kaum elit.
Keunggulan sistem sanksi khilafah yang tak kalah pentingnya, adalah hukumannya yang sesuai fitrah manusia. Sesuai fitrah karena Allah telah menetapkannya sesuai dengan potensi yang ada pada manusia. Hukuman yang dijatuhkan dapat memberi efek jera bagi pelaku dan rasa takut melakukan kejahatan dengan sanksi tersebut.
Sistem politik yang sehat, penegakan hukum tegas dan adil. Ketaqwaan individu ditambah kontrol masyarakat yang baik akan bersinergi dengan sistem sistem yang baik pula. Sehingga, penegakan hukum yang adil dapat dirasakan semua elemen masyarakat tanpa terkecuali. Wallahu’alam bish-shawab.
Penulis: Nurmia Yasin Limpo, S.S (Pemerhati Sosial Makassar)