ZONATIMES.COM, Opini – “Membaca memberi kita kesempatan untuk bepergian disaat kita harus berdiam di suatu tempat” – Mason Coley.
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) adalah hari nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hadjar Dewantara – tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa. Diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya.
Peringatan setiap tahunnya kerap dirayakan dengan kegiatan upacara bendera bahkan sampai aksi demonstrasi kepada Pemerintah sebagai upaya memberikan kritik dan masukan terhadap sistem pendidikan.
Tahun 2020, peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) disemarakkan di tengah wabah Covid-19. Bahkan Kemendikbud juga mengangkat “Belajar dari Covid-19” sebagai tema Hardiknas 2020.
Kemendikbud menyelenggarakan upacara bendera peringatan Hardiknas secara virtual guna mematuhi protokol kesehatan.
Peringatan Hardiknas secara ritual agak berbeda namun tidak akan mengurangi substansi dari tradisi tahun-tahun sebelumnya. Jika Kemendikbud hari ini melakukan upacara secara virtual, maka demonstrasi atau kritik masukan juga bisa dilakukan secara virtual. Seperti mengusung tagar di twitter, menulis opini dan sebagainya.
Stay home tak melulu tentang rebahan, ada berbagai macam persolan yang seharusnya di angkat ke ruang publik. Seperti kebijakan-kebijakan Pemerintah yang menimbulkan enigma bagi masyarakat. Semisal penanganan Covid-19 yang dilakukan Pemerintah, lambannya bantuan sembako, solusi bagi jutaan gelombang PHK, atau masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke dalam Negeri di tengah pandemi.
Ritual agama seperti salat jumat, tarawih serta mudik itu dilarang karena adanya perkumpulan massa. Dan dalam situsi pandemi seharusnya gerak sosial memang mesti dibatasi agar tingkat penyebaran segera diatasi. Namun beberapa waktu yang lalu ada semacam politik dumping. Seperti halnya memudahkan ruang bagi WNA namun membatasi pergerakan WNI di dalam negeri.
Tanpa menyalahkan Pemerintah, suatu tesa dan antitesa harus tetap bergema agar melahirkan sintesa melawan Covid-19
Tatkala Covid-19 dikukuhkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi di sebuah kota bernama Jenewa dikarenakan eskalasi penyebaran suatu penyakit menyebar dengan cepat di antara banyak orang dan dalam jumlah lebih banyak dibanding yang normal terjadi.
Sementara itu WHO juga secara bersamaan memberi peringatan agar ditetapkannya wabah Covid-19 sebagai pandemi tidak dijadikan alasan untuk khawatir berlebihan.
Dilansir dari situs worldometers 2/5/2020, total kasus mencapai 3,414,027: (kasus sembuh: 1,086,883); (kasus kematian: 239,777); (kasus aktif : 2,087,367); (dalam kondisi ringan 2,036,055 (98%); (dalam keadaan kritis : 51,312 (2%).
Suatu gambaran bahwa peluang untuk sembuh jauh lebih besar. Angka kesembuhan berada pada angka 1,086,883 sementara kasus kematian 239,777.
Sebagai perbandingan Covid-19 jauh lebih ringan, dibanding Ebola dan MERS-COV (2012) meski pergerakannya lebih cepat dan lebih luas.
Asian Development Bank (ADB): 6/3/2020 merilis Tingkat kematian beberapa wabah di dunia. Ebola (1976) merupakan wabah dengan tingkat kematian tertinggi 50%, dan MERS (2012) dengan tingkat kematian sebesar 34,3%.
Tanpa bermaksud meremehkan Covid-19, penyakit ini terkenal karena masih baru. Dengan penyebaran yang sangat cepat, membuat orang ketakutan, panik, dan sibuk. Hal ini dikarenakan minimnya literasi dan merebaknya jutaan postingan mencekam, seperti penolakan jenazah korban Covid-19, mayat yang tak terurus di jalan-jalan Ekuador sampai Foto-foto penguburan massal di Pulau Hart, New York.
Jika berita-berita kematian secara intens disajikan tiap hari maka akan menimbulkan ketakutan kepada psikologi massa.
Tanpa disadari bahwa selama ini WHO mencatat rata-rata ada 152.000 kematian warga dunia perhari disebabkan 10 penyakit paling mematikan seperti penyakit jantung koroner, stroke, infeksi saluran pernafasan bawah, penyakit paru obstruktif kronis, kanker organ pernapasan, diabetes, alzheimer, diare, tuberkulosis, sirosis.
Sekali lagi tanpa meremehkan Covid-19, semua elemen peradaban, termasuk pemuda yang merupakan anak kandung peradaban tak seharusnya vakum di hadapan makhluk berukuran nano.
Penulis: M Yahya Wildan, Pemuda Selayar