ZONATIMES.COM, MAKASSAR – Bagai air mengalir, narasi moderasi beragama begitu deras diaruskan. Di tengah munculnya kesadaran umat untuk kembali kepada fitrahnya, narasi ini sangat massif dan terstruktur digaungkan. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan. Mengapa narasi ini seakan begitu urgen, melebihi gentingnya utang negeri yang kian melangit atau kemiskinan yang mendera serta segudang permasalahan negeri lainnya?
Kepala Kanwil (Kakanwil) Kemenag Provinsi Sulawesi Selatan, Drs. H. Khaeroni M.Si. dalam sambutannya menyampaikan keprihatinan dan mengutuk keras kejadian bom bunuh diri yang terjadi di depan pintu masuk Gereja Katedral Makassar pada tanggal 28 Maret 2021 lalu. Dimana peristiwa tersebut disebabkan karena pendalaman dan pemahaman ajaran agama yang keliru.
Oleh karena itu, Kakanwil menekankan pentingnya menyuarakan moderasi beragama agar masyarakat yang berbeda keyakinan tetap dapat hidup rukun berdampingan secara harmonis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (makassar.tribunnews.com, 13/4/2021).
Terlalu dini menilai, jika karena bom yang terjadi di rumah ibadah kemudian menyimpulkan bahwa pelaku terpapar pemahaman agama yang keliru. Selanjutnya, solusi yang ditawarkan adalah moderasi beragama. Seolah adanya teror yang dilakukan oknum (yang kebetulan bercirikan orang Islam), disebabkan karena umat Islam intoleran. Menghukumi fakta dari satu atau dua peristiwa, tentu sangat tidak fair, terlebih banyak pihak menilai terdapat beberapa kejanggalan.
Jika ditelisik lebih jauh, akan ditemui pola yang hampir sama di setiap kejadian teror bom dan semisalnya. Tak dipungkiri label kekerasan, teroris, dan intoleran menggiring opini masyarakat untuk meng-amin-kan agenda narasi beragama. Jadilah agenda ini mendapat tempat dihati (sebagian besar) rakyat Indonesia. Namun, benarkah narasi beragama hanya sekadar antitesa dari radikalisme? Ataukah ada agenda global yang sedang diaruskan untuk membendung kesadaran umat akan bobroknya sistem yang ada?
Pembajakan Diksi Wasathiyah
Narasi moderasi beragama kemudian melenggang dalam program-program yang menyasar semua lini. Sebelumnya, dalam kurikulum pendidikan terkait pergeseran diksi jihad yang ditempatkan hanya sebagai sejarah, bukan lagi bagian dari fikih. Pariwisata dengan kearifan budaya lokal. Rumah moderasi. Tak ketinggalan webinar-webinar yang begitu massif menggambarkan pentingnya moderasi beragama untuk menangkal radikalisme.
Patut menjadi renungan bersama bahwa munculnya narasi moderasi beragama tak bisa dilepaskan dengan apa yang mereka (Barat) sebut Islam moderat. Pengklasifikasian Islam secara garis besar (Islam radikal dan Islam moderat), pertama kali diungkapkan oleh RAND Corporation, sebuah lembaga think tank Amerika Serikat. Strategi tersebut ditulis dalam dua dokumen penting yakni “Civil Democratic Islam” pada tahun 2003 dan “Building Moderate Muslim Network” (Membangun Jaringan Muslim Moderat) pada tahun 2007. Mereka mendefinisikan tentang Islam moderat, yakni Islam yang sesuai HAM, mengakui kebebasan beragama. Sebaliknya, Islam radikal ketika membahas Islam politik, anti HAM, dan yang lainnya.
Seiring perkembangan situasi politik global, kerapuhan sistem hari ini terlihat begitu jelas. Pandemi yang melanda hampir semua negara, membuat kesengsaraan hidup manusia di semua aspek tak terelakkan. Saat yang sama, kesadaran umat akan kerusakan sistem mulai bangkit dan tak dapat dibendung.
Kondisi ini membuat pihak-pihak yang merasa terancam eksistensinya, kemudian mendesain propaganda jahat melalui program-program yang seolah sesuai dengan Islam. Dibuatlah istilah Islam moderat dengan mengambil tafsiran QS. Al-Baqoroh: 143, dengan menerjemahkan diksi washatiyah sebagai pertengahan. Padahal, jika merujuk pada dalil yang ada; kata wasthu artinya pilihan terbaik atau wasathon artinya umat yang adil. Tak ditemukan dalam literasi Islam istilah moderat. Dari sini kita bisa menganalisis bahwa terjadi pembajakan istilah washatiyah, dengan berusaha menyamakan dengan diksi moderat.
Diduga kuat moderasi beragama dengan cara pandang demikian, memiliki visi yang lebih jauh yakni pluralisme. Ini sama artinya mengebiri penerapan Islam paripurna. Hal ini bisa terjadi tersebab akidah sekuler liberalis yang dianut negeri ini dan sebagian besar negara di dunia, meniscayakan hal tersebut berlaku. Akidah yang mengabaikan pengaturan oleh Sang Khalik dalam semua aspek kehidupan. Berbuat menurut hawa nafsu manusia, makhluk lemah dan terbatas. Rawan terjadi penyimpangan.
Islam Rahmat bagi Seluruh Alam
Selama kurang lebih 1300 tahun, peradaban Islam menorehkan sejarah kegemilangannya di semua aspek kehidupan. Sistem yang lahir dari akidah Islam terbukti mampu menyejahterakan seluruh umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Tak ditemui problem hidup yang berarti, baik skala negara terlebih individu.
Negara sebagai pengayom rakyat, memenuhi semua kebutuhan pokok individu dan publik dengan sangat amanah. Pun, terkait penjagaan akidah umat. Negara sebagai junnah (pelindung), menjalankan perannya dengan asas ketakwaan kepada Allah Swt. Bibit-bibit perpecahan di tengah umat akan segera ditumpas agar tidak menimbulkan kerusakan. Sanksi yang tegas juga diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar aturan syariat, tanpa pandang bulu. Keadilan benar-benar tercipta, jauh dari kezaliman.
Oleh karena itu, sebagai rakyat yang cinta atas kedamaian dan ketenteraman hidup, seyogianya cerdas dalam menyikapi berbagai program yang belum jelas arahnya, jangan mudah terpancing oleh narasi-narasi yang diembuskan pihak tertentu. Peran negara sangat dibutuhkan untuk menangkal berbagai propaganda jahat yang berusaha memecah belah umat. Hanya dengan penerapan seluruh hukum-hukum Sang Pencipta, kesejahteraan hidup untuk semua akan mewujud, insyaallah.
Wallahua’lam bis Showab.
Penulis: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T. (Dosen dan Pemerhati Sosial)