ZONATIMES.COM, MAKASSAR – Dunia pendidikan dihebohkan oleh kasus bunuh diri seorang siswi SMA (16) akibat menenggak racun, di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Menurut pihak keluarga, korban sering mengeluhkan banyaknya tugas dari sekolah dan susahnya signal internet. Ini bukan kali pertama keluhan pelajar ataupun mahasiswa tentang beratnya beban tugas-tugas belajar daring dan signal yang tidak bersahabat.
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Pemrov Sulsel, Muhammad Jufri, pun angkat bicara tentang kasus yang menyeret institusinya. “Korban sering mengeluh kepada rekan-rekan sekolahnya atas sulitnya akses internet di kediamannya yang menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk,” ujar Jufri (VOI, 19/10/2020).
“Hasil penyelidikan dari tim kami di lapangan bahwa interogasi dari teman almarhum, motif dari minum racun ini karena ada tugas diberikan sekolah lewat online kemudian karena medan tempat tinggal korban pegunungan jadi jaringan internet bermasalah,” ujar Kasat Reskrim Polres Gowa, AKP Jufri Natsir (detikNews.com, 18/10/2020).
Menanggapi peristiwa tersebut, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menilai perlunya dilakukan evaluasi secara menyeluruh dari Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di Kabupaten Gowa oleh Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya (Kompas.com, 19/10/2020).
Depresi akibat tugas sekolah via pembelajaran daring bukan hal baru sejak diberlakukannya PJJ. Semenjak kasus Covid-19 mulai masuk di Indonesia, Kemendikbud mengambil langkah PJJ sebagai solusi pembelajaran selama pandemi. Dari awal sistem pembelajaran ini menuai masalah.
Kurikulum yang ada, belum dirancang dengan metode yang efektif sesuai kondisi di masing-masing daerah. Mengingat, belum meratanya infrastruktur jaringan telekomunikasi sebagai prasyarat yang harus dimiliki dalam pembelajaran. Selain itu, tingkat perekonomian masyarakat, dominan tidak mampu memenuhi ketersediaan perangkat yang dibutuhkan (misal, smartphone atau laptop).
Ketidaksiapan Sistem Pendidikan
Berbagai instrumen kebijakan yang dibuat pemerintah, seolah tak menemukan titik terang. Bahkan, di tengah kondisi yang serba prihatin akibat pandemi, terjadi banyak kecurangan. Aroma korupsi pada aplikasi Ruang Guru misalnya, menjadi sorotan publik di awal peluncurannya. Pun, pemberian kuota gratis bagi pendidik dan peserta didik. Rasanya, semua “proyek” yang ada di negeri ini tidak pernah absen dari permainan para koruptor.
Sebelum pandemi saja, karut marut sistem pendidikan sudah terjadi. Pergantian kurikulum di setiap rezim, bagaikan simalakama. Tambal sulam kebijakan di dunia pendidikan, membuat output tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Belum lagi berbicara terkait moral atau akhlak. Begitu kompleks permasalahan di dunia pendidikan, menjadi PR besar bagi semua. Kurikulum yang dirancang di setiap pergantian Menteri, tidak mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam UUD 1945, UU 20 2013.
Terlebih dengan skema PJJ pada saat pandemi. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, menjadikan beberapa tempat susah mengakses internet. Padahal, internet adalah nadi dalam PJJ, selain smartphone dan tentu saja biaya pembelian kuota. Resesi yang melanda, membuat jumlah orang miskin bertambah secara signifikan, menambah berat beban hidup rakyat. Kesemua komponen inilah yang memicu sebagian peserta didik mengalami depresi, bahkan sampai nekat mengakhiri hidup. Hal Ini tak terlepas dari sistem pendidikan sekuler yang diadopsi, yang lahir dari rahim kapitalisme. Paradigma berpikir yang tidak lepas dari kemanfaatan, yakni untung rugi.
Generasi Unggul
Jika kita berkaca pada sejarah kegemilangan sistem pendidikan Islam, akan kita temui bukti historis yang hingga saat ini masih ada. Cordova menjadi ikon pencapaian peradaban kaum muslimin dan kemuliaan Islam pada saat itu (pertengahan abad keempat Hijriyah atau sepuluh Masehi). Cordova menjadi terdepan karena empat alasan, yang salah satunya karena ilmu pengetahuan. Perpustakaan Cordova misalnya, dengan banyaknya koleksi buku yang tak tertandingi walau di zaman modern sekalipun. Pun kenyamanan dalam menuntut ilmu, karena kelengkapan fasilitas dengan biaya yang sangat terjangkau bahkan gratis.
Negara sebagai pengayom rakyat, menjamin kebutuhan dasar publik (kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Berbasis akidah Islam, sektor pendidikan berkembang sangat pesat. Negara men-support penuh, sehingga terlahir generasi-generasi unggul di berbagai bidang keilmuan. Ilmu kedokteran misalnya; Ibnu Sina (Bapak Kedokteran Modern), penemu berbagai macam penyakit yang hingga saat ini masih digunakan. Ilmu Fisika; Al-Khazani dengan teori kecondongan dan teori penolakan, yang memberikan peran sangat penting dalam ilmu pergerakan. Ilmu Falak (Astronomi); Al-Farghani, yang sampai sekarang bukunya “The Story of Civilization” masih menjadi rujukan di Eropa Barat dan Asia.
Sungguh tak dapat dinafikan, peradaban Islam telah menjadi mercusuar dalam segala bidang, termasuk pendidikan. Peran negara menjadi sangat urgen dalam meri’ayah rakyatnya, sehingga kenyamanan dalam menjalani aktivitas dalam kehidupan pun bisa terwujud. Tidak rindukah kita akan sistem yang mampu mencetak generasi terbaik? Itulah sistem Islam yang yang menerapkan aturan Sang Pencipta secara total.
Wallahua’lam bishshowab.
Oleh: DR. Suryani Syahrir
(Dosen dan Pemerhati Generasi)