ZONATIMES.COM, Opini – Perusahaan sosial atau social entrepreneur adalah lembaga atau organisasi sosial yang tujuannya bukan untuk mencari laba, sehingga disebut sebagai organisasi nirlaba. Namun, tetap harus dikelola dengan manajemen profesional, sehingga dapat berkembang menjalankan aktivitasnya sesuai visi dan misi demi menghindari kebangkrutan.
Tatkala Madrasah of Human Capital Development merilis bahwa lembaga pendidikan (baca: universitas dan sekolah) telah masuk dalam kategori perusahan nirlaba.
“Menghindari kebangkrutan” bukan hal yang selayaknya diamini oleh lembaga pendidikan kita, apalagi orientasi negara dalam pembukaan konstitusi UUD 1945 telah jelas “…Mencerdaskan kehidupan banga.” Ditambah kondisi kebangsaan dilanda pandemi COVID-19 yang menyerang sektor perekonomian, semakin terpuruklah kita!
Jadi jangan salahkan bila gema tuntutan “Uang kuliah tunggal (UKT) gratis,” atau paling tidak ada pemotongan harga disuarakan oleh peserta didik.
Tatkala pendidikan di negara ini sudah menjadi barang mahal, lembaga pendidikan serupa dengan lembaga bisnis yang bukan remang-remang, dengan terang benderang mengiringi keangkuhan para birokrasi didalamnya.
Dalihnya bermacam-macam dimulai tenaga pendidik profesional dan bermutu, fasilitas yang lengkap, terintegrasi dengan lembaga pendidikan luar negeri, sistem yang canggih, kurikulum serba unggul, serta jaminan lulusan laku di pasar kerja atau siap cetak menjadi wirausahawan, menjadikan lembaga pendidikan layaknya pasar transaksi ilmu dan pengetahuan.
Kiranya narasi “Berani bayar berapa?” bagi sang pengusaha pendidikan sudah berlaku. Sementara bagi orang tua peserta didik (yang mampu dari sisi ekonomi) tidak menjadi masalah diiringi ucapan pongahnya, “Berapapun, yang penting anak ku berstatus peserta didik”. Akhirnya bagi orang dengan penghasilan pas-pasan cukup gigit jari.
Lebih konyol bukan hanya lembaga pendidikan berstatus swasta yang berbuat demikian. Pun yang berstatus negeri sudah berani lebih gila jor-joran menargetkan uang masuk dan dana operasional pendidikan. Mulai dari mengukur penghasilan orang tua peserta didik sampai menimbang kekayaannya, agar dapat dianggap mampu membayar dan berani memberi kontribusi.
Tawar menawar besarnya uang masuk bukan menjadi barang asing bagi perusahan atas nama lembaga pendidikan ini. Besarnya uang masuk menjadi penentu keberhasilan calon peserta didik menempati jenjang pendidikan dalam lembaga ini.
Berbagai jenis dan tipe tes masuk disiapkan dengan tahapan gelombang dan variasi sistem pembayaran uang muka yang disesuaikan layaknya “Produk” yang ditawarkan. Program studi atau jurusan tertentu dipromosikan paling laku, ditandai dengan adanya kuota, rasio peminat terhadap jumlah kursi yang ada dan prospek bagi alumninya. Sebuah fenomena keberhasilan “Jualan” dalam lembaga pendidikan layaknya pasar.
Lembaga pendidikan biasanya menggunakan narasi yang secara pribadi saya sebut “BCA” (Banyak Cari Alasan) dengan memberi informasi berlaku sistem subsidi silang. Walau telah ada dana dari kas negara, menyerap dana dari masyarakat tak luput dilakukan.
Sebagai perusahaan sosial, lembaga pendidikan seharusnya tetap pada visi dan misinya yang bersifat sosial. Dana pendidikan tak selayaknua diambil dari peserta didik. Penyelenggara lembaga pendidikan harus kreatif membangun dan memanfaatkan unit-unit bisnis yang pula turut berkontribusi.
Terlebih lagi, dimasa epidemi COVID-19 saat sekarang yang namanya perusahaan sosial, mesti lah peka terhadap musibah sosial yang kendala perekonomian keluaga peserta didik. Paling tidak perusahaan sosial ini segera lakukan pemotongan biaya uang kuliah tunggal (UKT). Sebab, pertumbuhan ekonomi sedang tidak stabil dan roda perekonomian masyarakat macet akibat pandemi.
Semoga perusahaan sosial segera peka bahwa nasib manusia tak selamanya dapat diukur dengan angka-angka rupiah. Terlebih lagi sebagai penduduk beragama dengan basis moral dan etika kekeluargaan haruslah berpihak pada kemanusiaan. Semoga.
Penulis: Rezki Awalyah, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Makassar.