ZONATIMES.COM, Opini – Semarak Pilkada serentak 2020, telah mewarnai sejumlah daerah di Indonesia yang dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Epidemi Covid-19 yang melanda dunia bukanlah alasan demi terselenggaranya pesta demokrasi lima tahun sekali ini.
Pilkada sebagai ajang pertarungan para aktor politik, masing-masing petarung telah menyiapkan strategi politik demi memenangkan kontestasi.
Menjadi tak terhindarkan tatkala para paslon peserta Pilkada membangun basis pemenangan dalam struktur pemerintahan. Perlu digaris bawahi, hal ini hanya berlaku bagi oknum politik tertentu.
Dan para oknum-oknum ini kerap berlindung dalam narasi “Akan tetap menjaga netralitas selama masa Pemilu berlangsung.”
Selain itu, tak lupa para paslon menyiapkan timses di akar rumput dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, salah satunya: lihai mengolah sesuatu. Upaya yang dilakukan itu jelas orientasinya. Menang, titik!
Tak ada yang salah dari hal itu, toh Indonesia dikenal negara demokratis. Sifat kedemokratisan inilah yang membuat para aktor politik jor-joran dalam segala hal.
Bukan hal mengherankan bila kongkalikong masif dan terstruktur marak terjadi yang berimplikasi ke perilaku koruptif. Dibuktikan dengan data dari dari Indonesian Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, ada sekitar 263 pejabat Pemda dan 188 pejabat desa yang terjerat kasus korupsi. (Sumber: Tempo “ICW catat PNS Pemda terbanyak korupsi sepanjang 2019.”)
Inilah yang menandai bahwa korupsi merupakan penyakit sosial elit politik. Dan bila ia penyakit sosial, maka tak boleh kita biarkan tetap eksis di bumi pertiwi. Karena penyakit inilah yang menghambat peredaran kesejahteraan dan peretasan kesenjangan sosial.
Satu diantara sekian bukti dari hal tersebut ialah adanya aktor politik yang telah jelas tersandung kasus korupsi dan dibuktikan oleh putusan peradilan masih enggan melepaskan jabatan politiknya dengan alasan proses hukum masih berjalan di tingkat peradilan berikutnya. Banding hingga kasasi.
Hal tersebut merupakan gambaran bahwa aktor politik seperti ini tak punya malu atau kurang memahami etika politik. Status pejabat publik yang melekat tak menjadi jaminan kewarasan dirinya.
Bukankah para pejabat publik harusnya memberi contoh tauladan bagi warga guna menciptakan keadaan bernilai etis agar semrawut dalam kehidupan berbangsa minim terjadi. Bahkan menghilang di bumi pertiwi.
Bukan dalam rangka menggeneralisir, karena hanya ada beberapa diantara sekian banyak pejabat publik yang sifatnya demikian. Dibuktikan dengan keberadaan pejabat yang rela melepas jabatan politiknya akibat diduga melakukan korupsi, meski belum ada yang dapat membuktikan hal tersebut.
Pejabat publik seperti ini walau jumlahnya sedikit, setidaknya ia dapat memberi contoh bagi yang lain bahwa jabatan politik yang melekat, bukanlah hal yang patut dibanggakan dengan besar hati.
Sebab sudah sepantasnya jabatan politik tak boleh digunakan serampangan apalagi demi meraup keuntungan individual semata.
Untuk kedepannya, semoga keinginan dalam penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih akan menemui titik nadirnya di bumi pertiwi.
Cita-cita kemakmuran dan peretasan kesenjangan sosial pun semoga segera segera tercapai. Sebab peradaban yang baik dihasilkan dari kondisi kebangsaan yang baik pula.
Semoga di masa pencoblosan nanti, kiranya kita sebagai warga negara yang berakal sehat, telah mampu memilah lalu memilih pemimpin yang akan mengaktualisasikan cita-cita itu. Cita-cita seluruh bangsa dalam naungan NKRI.
Toh kita telah dikenal sebagai penduduk yang dinilai telah matang dalam menilai baik buruknya segala sesuatu. Salah satu faktor yang dapat menjadi pembenaran dari narasi ini ialah tatkala brainstats merilis rata-rata IQ warga Indonesia berkisar 87.
Maka dari itu, tak boleh kita sia-siakan tahun politik ini di dominasi oleh aktor politik yang orientasinya sekadar meraih kursi kekuasaan. Semoga.
Penulis: Aslang Jaya, alumnus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.