ZONATIMES.COM,- Sepekan berlalu memperingati kemerdekaan, seminggu lalu juga saya teringat analogi proklamatorku, proklamatormu, dan proklamator kalian yakni BUNG KARNO, bahwa kemerdekaan adalah “Jembatan Emas”. Apa maknanya? Apa hikmahnya?.
Yah Imajinasi kita tentang jembatan adalah penyebrangan, adalah penghubung, adalah titian. Dengan analogi itu kemerdekaan itu, diandaikan penghubung, titian bahkan penyebrangan sekaligus untuk memungkinkan perpindahan kita dari suatu tempat ke tempat lain. Dalam hal demikian (Kemerdekaan) kita berpindah dari alam KOLONIALISME ke alam MERDEKA PERBUDAKAN.
Tetapi makna kemerdekaan sebagai jembatan emas punya makna filosofis yang lebih dari sekedar penghubung, penyebrangan, titian. Dalam risalahnya yang terkenal ” Mencapai Indonesia Merdeka”, Soekarno menggambarkan jembatan emas itu sebagai sebuah “kemungkinan” bahkan sebuah “ketidakpastian”.
Yah pertanyaan muncul lagi, kenapa demikian? kok bisa? nyatanya sekarang gimana? Soekarno mengatakan, diseberang jembatan itu jalan terbagi atas dua rute yaitu satu ke dunia keselamatan marhaen dan yang satunya ke dunia kesengsaran marhaen atau dalam bahasanya “menuju dunia sama rata, sama rasa atau menuju dunia sama ratap, sama nangis.
Berbekal pengalaman revolusi Perancis pada abad ke 18 memang berhasil meluluhlantakkan, meleburkan, menghancurkan kekuasaan feodalisme. Namun, pada akhirnya kaum bourjuislah yang memegang roda kemenangan.
Dibawah roda borjuislah, kendaraan kereta kemenangan beratus tahun itu menuju dalam dunia kapitalistik. Nasib rakyat jelata, bahkan buruh dan petanipun tidak lebih baik. Tetap hidup dalam nestapa akibat penindasan oleh kapitalis. Mereka hanyalah budak yang berganti TUAN dari ” Feodalisme ” yang sudah habis masanya ke “Kapitalisme” yang sampai sekarang menjabat.
Padahal sebelumnya rakyat jelata yang hanyalah BUDAK saat itu punya andil besar dalam pelengseran kekuasan feodal. Bahkan jika tidak adanya keterlibatan rakyat jelata perjuangan kaum borjuis melawan kekuasan feodal tidaklah akan meraih kemenangan. Memanfaatkan rakyat jelata tidaklah mudah mengapa saya katakan demikian? Sebab kaum borjuis dalam memikat rakyat jelata memproklamirkan slogan setinggi langit “Liberte (Kemerdekaan), Egalite (Persamaan), dan Fraternite (Persaudaraan) yang tidak mungkin didapatkan pada saat itu.
Inilah yang disebut ” Jalan kesengsaraan” itu.
Soekarno tidak menginginkannya terulang dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Soekarno tidak ingin Rakyat Indonesia menjadi “pengupas nangka” Dan hanya terkena “getahnya”, Sementara nangkanya sendiri di santap oleh kaum borjuis nan ningrat itu.
Lantas, Bagaimana “Jalan keselamatan” Perwujudan seperti apakah itu?.
Soekarno menjawab itu dengan konsepsi politik Soekarno yang disebut sosio-demokrasi.
Sosio-demokrasi yakni antitesa ‘democratic of parlementer” atas dasar revolusi Perancis. Ia mengatakan demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, tidak untuk kebebasan lapangan ekonomi.
Dengan itu, kendati ruang politik kaum marhaen leluasa bahkan berkesempatan memilih dan dipilih dalam pemilu, bahkan bisa menjatuhkan Presiden Dan jajaran Menterinya tetapi dalam konsepsi perekonomian mereka tetaplah ISTIQOMAH dalam “Penghambaannya”.
Penghidupan ditentukan oleh tuannya, bahkan bisa saja dilengserkan kapan saja oleh tuannya atau dalam bahasa kekinian ” Tuannya tidak mood “. Oleh karena itu Soekarno menyebut demokrasi parlementer sebagai ” demokrasi borjuis “.
Konsep Soekarno dengan Sosio-demokrasi berusaha menutup cacatnya demokrasi borjuis, Dengan gagasan politik menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Disini, marhaen bukan hanya pemegang kursi kekuasan politik tetapi juga bergerak massif di lapangan ekonomi melalui pola kepemilikan sosial.
Didalam politik rakyat jelata sekalipun bisa menjadi pengendali jalannya kekuasan, semua urusan mensyaratkan partisipasi rakyat, baik parpol maupun organisasi kemasyarakatan.
Dalam demokrasi ekonomi, semangatnya adalah pemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Spirit ini ada di dalam pasal 33 UUD 1945. Tidak adanya lagi kepemilikan alat produksi di tangan segelintir orang, yakni ” Kaum Borjuis”, sementara rakyat banyak dipaksa menjadi buruh upahan”.
Sosio-demokrasi memposisikan rakyat jelata sebagai pemegang roda kereta kemerdekaan. Dan Sosio-demokrasi melalui kesetaraan di lapangan politik dan ekonomi akan membuka sangat lebar jalan menuju “dunia sama rata-sama rasa”.
Sangat disayangkan, penyelenggaran Negara selama 74 tahun kemerdekaan, terutama di Orba – reformasi sekarang bertolak belakang dengan keinginan sang proklamator. Dengan mengadopsi sistem kapitalisme, menjadikan rakyat jelata BUDAK dan pemegang roda kemenangan kembali adalah ” Kaum Borjuis “.
Sudah menjadi hal lumrah lagi, diusia Kemerdekaan yang sudah 74 tahun bangsa ini bukan mendekati ” dunia sama rata-sama rasa” melainkan merasakan “dunia sama ratap-sama nangis”.
Penulis : A. Wahyu Pratama Hasbi (Mahasiswa Baru Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar)
Note : Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis