ZONATIMES.COM, Makassar – Program yang diusung oleh kementerian agama (kemenag) tentang perlunya sertifikasi penceramah masih menjadi pro-kontra, wacana kemenag ini dibuat dengan alasan untuk memastikan tidak ada paham radikalisme oleh penceramah melalui ceramah yang disampaikan, namun wacana ini menuai beragam tanggapan dikalangan tokoh agama, tak sedikit tokoh agama dan ormas yang turut mengkritik program terbaru ini, salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merasa kontra serta beberapa penceramah lainnya.
MUI telah menyampaikan bahwa tetap menolak program penceramah atau dai bersertifikasi oleh Kemenag. MUI khawatir program penceramah bersertifikat Kemenag akan disalahgunakan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. MUI juga sudah punya program standardisasi kompetensi dai sejak lama diterapkan. oleh karena itu MUI tetap tegas tidak ikut campur dengan program penceramah bersertifikat Kemenag.
Ustadz Das’ad Latif, seorang penceramah Muballigh kondang Sulawesi Selatan, menurutnya kebutuhan dai di Indonesia yang mayoritas muslim masih sangat besar, penceramah khawatir kebijakan sertifikasi akan membuat masyarakat makin jauh dari dakwah.
Wakil Sekjen Dewan Pimpinan MUI Nadjamuddin Ramli mengatakan bahwa dikhawatirkan adalah jika sertifikasi dai menjadi wajib, maka banyak majelis taklim di Indonesia yang bakal mendapatkan rintangan. Selain dari MUI dan Ustadz Das’ad Latif yang kontra atas kebijakan ini, beberapa ormas dan muballigh lainnya juga merasa kontra dengan alasan masing-masing.
Rencana program serifikasi ini akan diikuti 8.200 orang muballigh, Kemenag juga akan bekerja sama dengan sejumlah lembaga, semisal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Pertanyaannya bagaimana dengan penceramah lainnya yang tidak setuju dengan kebijakan ini?, Apakah mereka harus bersertifikasi terlebih dahulu sebelum berdakwah?, lalu bagaimana dengan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya : Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”?
Kemudian pertanyaan selanjutnya apakah kemenag mampu menjamin bahwa kebijakan ini tidak ditunggangi oleh kepentingan politik?. Tentunya program ini cenderung akan menimbulkan kontroversi di tengah umat Islam. Bahkan bisa jadi banyak yang beranggapan bahwa program ini dilakukan sebagai upaya menjaring dai-dai yang pro pemerintah.
Namun menteri agama Fachrul Razi menegaskan bahwa program tersebut bertujuan untuk mencetak dai yang berdakwah di tengah masyarakat tentang Islam rahmatan lil alamin. Dia pun berharap kedepannya masjid-masjid bisa diisi oleh para dai-dai bersertifikasi.
Penting bagi kita semua mengingat bahwa sebelum adanya wacana ini beberapa ormas ada yang kurang pro dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, oleh karenanya program tentang sertifikasi dai ini menuai banyak kritik dan tanggapan.
Program yang diwacanakan pemerintah ini sebenanya tujuannya baik, yakni mencegah tersebarnya paham-paham radikal dan anti-pancasila, tapi benarkah tujuannya hanya itu?, lalu apakah pemerintah bisa menjamin tidak akan ada pendakwah yang dipolisikan jika tidak memiliki sertifikasi ketika sedang berdakwah, bagaimana jika masyarakat lebih memilih mendengarkan dakwah oleh dai yang sudah tersertifikasi kemenag dari pada dai yang tidak memiliki sertifikasi kemenag sedangkan kedua dai memiliki pemahaman yang sama.
Pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk memantau dai-dai dadakan agar menyampaikan dakwah sesuai dengan syariat islam dari pada lebih fokus mengurusi sertifikasi dai. Toh standarisasi dai sudah diurus oleh MUI. Tentunya dengan program ini tokoh agama yang kontra berfikir bahwa menteri agama selalu mendiskreditkan dan menyudutkan umat Islam dan para dai-dai.
Sejak awal isu ini memang telah memantik kontroversi di kalangan masyarakat ketika wacana itu untuk sertifikasi dai atau mubaligh, Kontroversi ini menjadi menguat karena dugaan akan muncul Surat Izin Mubaligh. Kyai Gufron menyarankan agar persoalan dai bersertifikat diserahkan kepada ormas-ormas Islam atau masjid. Bukan dilegalisasi oleh pemerintah.
Dirinya menambahkan bahwa Jangan sampai sertifikat dai ini terkesan jadi ‘ladang bisnis’, Sehingga muncul persepsi ada dai yaang halal dan dai yang haram, ia khawatir nantinya akan ada dikotomi sehingga bisa merugikan umat Islam sendiri, Meskipun pemerintah tidak memaksakan adanya program sertifikasi dai ini, Dai yang mempunyai narasi intoleran, memecah belah umat dan masyarakat untuk kepentingan kelompok radikal guna mengarah pada terorisme ini harus dipantau oleh pemerintah.
Rencana program sertifikasi penceramah agama oleh Kementerian Agama (Kemenag) ini juga mendapat reaksi keras dari Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI) Anwar Abbas, ia sampai menyatakan sikap akan mengundurkan diri dari jabatannya jika MUI ikut terlibat dalam program tersebut. Sikap Anwar Abbas yang tidak akan kompromi dan tetap mundur dari jabatannya jika MUI mendukung program tersebut justru didukung oleh mayoritas umat Islam di Tanah Air, termasuk oleh pengamat politik Denny Siregar.
Apabila rencana sertifikasi kemenag ini direalisasikan maka semestinya kemenang menepati janjinya untuk melaksanakan dengan tujuan yang telah dikatakan sebelumnya yaitu menghindari adanya dai-dai penyebar paham radikal dan anti-pancasila, jika terealisasi dengan baik maka semestinya tujuan utamnya kedepan adalah tidak ada lagi penceramah yang melanggar aturan agama dan negara, mereka juga menerapkan prinsip moderasi dalam beragama dan secara sistematis menyuarakan kehidupan persatuan bangsa bukan untuk memecah belah, karena moderasi menjadi jalan tengah dan solusi.
Di tengah kebebasan berekspresi pada era reformasi justru memberi kesempatan kepada kelompok radikal mengekspresikan pikiran dan gerakannya yang sangat berpotensi mengguncang NKRI seperti melalui isu SARA, provokasi antar kelompok, dan terorisme.
Perkembangan teknologi informasi juga menjadi salah satu ladang besar untuk oknum-oknum radikal menyebarluaskan pahamnya melalui situs internet dan media sosial dimanfaatkan betul oleh kelompok radikal. Untuk itu, disinilah tugas pemerintah untuk tetap menjaga kedaulatan bangsa, pemerintah sebaiknya lebih fokus terhadap masalah serius seperti ini.
Benar-benar indah ketika program ini dilaksanakan memang betul-betul untuk kepentingan bangsa bukan untuk kepentingan politik atau kelompok saja, jika terealisasi dengan baik tanpa konflik maka akan melahirkan penceramah di tengah-tengah masyarakat yang dapat membangun, bukan merusak yang sudah ada. Kehadiran penceramah diharapkan dapat memperkuat persatuan yang sudah ada baik antar sesama umat Islam maupun antar umat beragama, bukan sebaliknya.
Penceramah harus dapat dengan bijak dan menyampaikan pemahaman yang dapat memperkuat persatuan antar bangsa. Karena itu tidak boleh menyampaikan paham-paham yang bersifat provokasi dan mengundang kontroversi. Harus diketahui bahwa Islam mengajarkan masalah tolerasi dalam kehidupan beragama, tidak ada sikap saling mengkafirkan atau mencurigai.
Terlepas dari kisruh ini, pemerintah, ormas, muballigh dan masyarakat lainnya semestinya saling menemukan titik tengah, karena jangan sampai timbul perpecahan antar golongan ataupun antar individu dengan adanya wacana seperti ini, masih banyak jalan yang bisa ditempuh oleh kita dengan saling komunikasi duduk bersama bermusyawarah, bersikap arif dan bijaksana serta bertabayyun untuk kejelasan program tersebut.
Penulis: Risma Ekayanti (Akuntansi UINAM)