Oleh: Prof Hamdan Juhannis
Pro kontra yang terjadi tentang setuju atau tidaknya vaksinasi itu dilakukan adalah bagian dari dinamika keterbukaan, atau kita istilahkan demokratisasi.
Di sekitar saya sering terdengar orang menanti untuk segera divaksin, karena berharap bisa kembali berakftivitas normal. Di sisi lain, sering juga saya dengar informasi yang menolak untuk divaksin dengan berbagai argumen, mulai dari alasan efek samping sampai pada masalah keyakinan.
Dari dua ragam pandangan di atas, saya berada pada posisi, lebih cepat lengan saya disuntik akan lebih menenangkan suasana hati saya, dengan beberapa pertimbangan:
Pertama, kesiapan saya divaksin adalah wujud kepercayaan saya kepada pemerintah. Mengapa saya percaya pemerintah? Karena pemerintah adalah entitas yang paling berdasar untuk saya percayai dalam sistem bernegara, karena pemerintah dikelilingi oleh berbagai sistem kontrol.
Kalau pemerintah salah langkah dalam beriikhtiar, sungguh banyak konsekuensi yang akan dihadapinya, yaitu ancaman rusaknya masa depan bangsa atau tersendatnya cita-cita bernegara yang kesemuanya akan terekam sebagai kesalahan yang tidak pernah terhapus.
Dari situ tidak mungkin saya mengikuti pandangan yang berkeliaran tanpa kontrol sistem dan tanggung jawab moral. Pandangan orang atau kelompok di luar pemerintah yang membuat orang lain mengikutinya dan ternyata salah, mereka tidak mengambil tanggung jawab politik dan karenanya sangat mudah mereka berlepas tangan.
Pemerintah menerapkan kebijakan vaksin setelah menempuh proses ujicoba dan pertimbangan lama. Sementara pandangan-pandangan kontra tentu tidak berada pada rel proses itu, atau bahkan bisa saja berdasar pada pandangan sentimentil semata.
Kedua, saya juga siap divaksin karena dalam tubuh saya sudah mengalir darah yang bercampur dengan bahan vaksin sejak kecil. Lengan dan pangkal paha saya menyisakan bekas tidak terhapus dari beberapa vaksinasi yang saya terima, mulai dari vaksin TBC, vaksin Tetanus, vaksin Polio, vaksin hapatitis, dan vaksin influenza.
Denyut nadi tubuh saya sudah begitu lama beradaptasi dengan beragam vaksin, dan karenanya tidak begitu penting bagi saya untuk menguras tenaga mempersoalkan kebijakan vaksin dari pemerintah saya sendiri.
Dan yang ketiga, sejak awal saya yakini bahwa vaksin pandemi adalah produk dengan status ‘halal’, sebelum misalnya dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dasar saya adalah pemahaman tentang cara agama mendudukkan sifat kedaruratan suatu masalah. Selalu ada ruang toleransi yang diberikan oleh agama untuk menentukan status hukum situasi kehidupan yang dianggap darurat. Yang saya pahami, vaksin pandemi itu selalu dihadirkan dalam keadaan darurat. Apalagi vaksin Covid-19, kebutuhannya sudah pada level super-darurat.
Dalam situasi darurat, saya tidak pernah tertarik memperbicangkan halal-haramnya sebuah bahan vaksin karena saya lebih tertarik pada misi ‘kemasalahatan kehidupan’. Bagi yang tidak percaya bahwa Covid-19 menyebabkan situasi darurat, silakan menengok kenyataan yang terjadi di sekitarnya saat ini juga, dengan peningkatan secara drastis jumlah orang-orang yang meninggalkan kita untuk selamanya karena wabah Covid.
Jadi kesimpulannya, bagi siapa saja yang memiliki ‘voucher’ vaksin tapi belum bersedia, boleh digojekkan ke saya.
Penulis adalah Rektor UIN Alauddin Makassar dan penulis buku Melawan Takdir