Pilkada 2020 Jadi Bom Covid-19, Benarkah?

ZONATIMES.COM, Makassar – Pemilihan kepala daerah atau biasa disingkat Pilkada merupakan pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pilkada 2020 akan diselenggarakan secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.

Sistem pemilihan secara serentak pada tahun 2020 ini merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia dan pelaksanaan pemungutan suara akan digelar pada bulan Desember 2020. Pilkada pada tahun ini kemungkinan akan berbeda dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya karena adanya pandemi covid-19. Pelaksanaan Pilkada 2020 ini menuai pro dan kontra, pasalnya ada yang ingin menunda dan ada yang tetap ingin melanjutkan.

Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), Jusuf Kalla (JK) menyarankan agar pilkada 2020 ditunda dan meminta setidaknya penundaan Pilkada sampai ditemukannya vaksin Covid-19. Menurut JK, penundaan pilkada tidak akan mengganngu jalannya pemerintahan daerah, karena saat ini kesehatan dan keselamatan masyarakat harus lebih diutamakan, Sabtu (19/9).

Sedangkan Menurut Maman Abdurrahman Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Golkar, Pilkada 2020 tidak bisa dijadikan alasan meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia. Dengan mencontohkan, di Jakarta saja yang tidak menyelenggarakan Pilkada 2020, kasusnya tetap mengalami kenaikan secara signifikan.

“Naik atau tidaknya kasus lebih dikarenakan kedisiplinan tehadap protokol kesehatan. Sebagai contoh DKI Jakarta tidak ada Pilkada tapi tetap naik juga (kasus positif Corona),” kata Maman dalam keterangan tertulis pada CNN Indonesia, Sabtu (26/9).

Maman melanjutkan bahwa Pilkada serentak 2020 yang digelar di 270 daerah sebetulnya juga sudah ditunda. Semula, pilkada direncanakan pada 23 September, namun karena situasi pandemi pilkada diundur hingga 9 Desember 2020.

“Di beberapa negara yang mempunyai agenda pemilu nasional maupun daerah, hampir semuanya tetap menjalankan sepanjang tahun ini. Jadi, kata kuncinya ada di kedisiplinan terhadap protokol kesehatan,” ujarnya melanjutkan.

Saat ini KPU-DPR- dan Pemerintah sepertinya telah sepakat bahwa tidak akan ada lagi penundaan Pilkada meskipun banyak muncul desakan untuk menunda dan banyak resiko kasus covid-19 yang akan tejadi. Hal ini dikarenakan pada saat rapat bersama di Komisi II DPR pada 10 September lalu yang dihadiri Menteri Dalam Negeri, KPU RI, Bawaslu RI, dan DKPP sama sekali tidak menyinggung dan enggan membahas wacana penundaan Pilkada. Oleh karena itu, Pilkada serentak 2020 diprediksi akan menjadi bom bertambahnya kasus covid-19.

Dilansir dari media Republika.ac.id, Indobarometer dalam riset barunya memprediksi bahwa akan terjadi ledakan kasus positif Covid-19 pada dua tahapan Pilkada Serentak 2020. Tahap pertama yaitu pada masa kampanye yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 September – 5 Desember dan tahap kedua yaitu tahap pencoblosan yang akan digelar pada tanggal 9 Desember.

Tahapkampanye akan memakan waktu selama 71 hari dan diperkirakan setidaknya akan ada lebih dari 19 juta orang tanpa gejala (OTG) yang ikut serta. Perkiraan perhitungan tersebut didasarkan pada jumlah pasangan calon kepala daerah, yakni 734. Diperkirakan pula calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah akan melakukan kampanye secara terpisah sehingga terdapat 1.468 calon. Kampanye yang akan dilakukan tiap calon berupa rapat umum atau pertemuan terbatas di 10 titik setiap harinya. Jika dikalikan dengan jumlah calon 1.468 dan total masa kampanye selama 71 hari, maka akan tedapat 1.042.280 titik penyebaran Covid-19.

Jika di Indonesia positivity rate Covid-19 mencapai 19 persen, maka potensi OTG yang akan menjadi agen penularan Covid-19 selama masa kampanye adalah 19.803.320 orang. Karena di setiap titik kampanye akan diikuti maksimal 100 orang yang sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), dan orang yang akan mengikuti semua tahapan kampanye terdapat 104.228.000. Dari angka-angka yang dimunculkan oleh Indobarometer masih berupa hitungan kasar.

Namun, jika merujuk pada kondisi pada tahap pendaftaran bakal pasangan calon ke KPUD, massa paslon yang ikut megantar memicu penularan Covid-19 karena tak sedikit paslon yang menggelar pagelaran seni hingga konser musik pada waktu itu. Bawaslu melaporkan ada 243 bakal paslon diduga melanggar protokol kesehatan. Bisa dibayangkan jika beberapa kegiatan kampanye tidak dilarang maka acara-acara seperti pentas seni, konser musik, kegiatan olahraga, dan kegiatan lainnya yang megumpulkan banyak massa akan menjadi pemicu bertambahnya kasus Covid-19.

Untuk itu, pada hari Rabu (23/09) KPU telah menetapkan peraturan Komisi Pemilihan Umum no. 13 tahun 2020 yang merevisi peraturan sebelumnya. Pasal 58 dalam peraturan baru menyatakan para kandidat dalam pilkada serentak 2020 harus megutamaan kegiatan kampanye di sosial dan media daring. Jika kampanye tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, maka dibolehkan pertemuan tatap muka deganjumlah peserta maksimal 50 orang serta menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Anggota KPU-RI Dewa Raka Sandi dalam diskusi online yang digelar Perludem pada hari Senin (21/09) megatakan bahwa kampanye di media sosial dan media daring dibiayai oleh pasangan calon sendiri.

Pada pasal 88C, KPU dengan tegas melarang tim kampanye melasanakan kegiatan yang biasanya mengumpulkan massa dalam jumlah besar seperti rapat umum, pentas seni atau konser musik, kegiatan olahraga, dan lainnya. Jika ada kandidat yang melanggar maa diberi sanksi berupa peringatan tertulis, penghentian dan pembubaran kampanye, seta larangan melaukan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari.

Penulis: Rosni (Akuntansi UINAM)