Akulturasi Gusdur di Tanah Papua

Zonatimes.com- Ada beberapa perbedaan yang mendasar terkait dengan sosial kultur masyarakat Papua-Jawa, hal itu dirasakan oleh khalayak Papua. Hampir disetiap tahunnya yang selalu menjadi korban diskriminatif dan rasialisme dari masyarakat non Papua diberbagai daerah. Misalnya akhir pekan ini, terjadi rasialisme di salah satu Asrama Papua di Surabaya.

Setidaknya sikap rasis itu tidak perlu diperdayakan dan sama sekali pun tidak pantas. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan bagi setiap warga negara, maka rasialisme harus dihapuskan dalam benak pikiran masyarakat Indonesia, biar tidak ada perbedaan diantara kita dalam mebangun Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.

Coba saja kita membaca dari beberapa artikel mengenahi dengan dinamika di Papua, bahwa perjalanan Papua penuh dengan sepak terjang perjuangan yang berkepanjangan dan selalu dihantui kekerasan semasa hidupnya baik sebelum-sesudah menjadi bagian dari negara Indonesia.

Semasa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Negara belum selesai perlakukan masyarakat Papua sepenuhnya seperti masyarakat pada umumnya, aktifitasnya dibatasi dari setiap waktu dan tempat, seperti; Kebebasan berpendapat di ruang publik, berdiskusi, dsb. Justru Masyarakat Papua mendapatkan pukulan keras atas respons rasis dari masyarakat non Papua yang terjadi beberapa hari lalu, dengan masalah patahnya tiang bendera merah putih di depan Asrama Papua di Surabaya.

Dalam memahami sosial-kultur Papua harus secara komperehensif, tidak setegah-setengah hingga terjadi kesalah-pahaman disetiap kejadian, harus mengedepanlan sikap kritis, cakap dan bertanggung jawab, seperti disebut habermas dalam buku Seni Memahami (Budi Hardiman 2015: 220) “komunikasi yang terdistorsi” karena perbedaan sudut pandang, ketidak tahuan atau prasangka sehingga kita salah paham satu sama lain.

Memahami papua harus memahami keseluruhan dialektika di Papua. Caranya dengan mempelajari prilaku sosial yang bermakna untuk menunjukan segi-segi subjektif antar kepribribadian dalam kompleksitas hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat. Itu merupakan kesalahan negara dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa dengan framing-framing nya soal papua.

Teryata negara belum mampu bertanggung jawab di papua dalam konteks kemanusiaan. Ada pembunuhan dan impunitas di Papua. Negara hanya ingin mengeksploitasi kekayaan negeri papua saja, persoalan alam dan manusianya negara tidak dipedulikan. Berdasarkan penuturan Jhon Gobai, Jend. Ali Moertopo (1966) membenarkan bahwa pendudukan Indonesia di Papua demi kepentingan akses pasar modal asing dan barang, tidak untuk manusianya. 

Dalam catatan amnesty internasional dari 2010-2018 ada 95 korban dan 69 kasus dengan dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam kasus pembunuhan diluar hukum yang tak terkait aktivitas politik dan pembunuhan diluar hukum yang terkait aktivitas politik.

Keberadaan Papua perlu peran sentral dan strategis dari pemerintah negara dalam menegakkan nilai-nilai Kemanusiaan dan epistemologi sosial kultur Papua dan menghapuskan beberapa kebudayaan yang selalu menggunakan kekerasan dan kekejaman sekaligus melibatkan aparat keamanan Negara dalam menyelesaikan persoalan-persolan yang ada.

Pada hakikatnya masyarakat Papua memiliki hak yang sama, adil dan Merdeka sebagaimana warga lainnya mampu menjunjung tinggi nilai keberadaban dan Kesetaraan. Kalau Negara hadir hanya untuk menambah masalah bukan menyelesaikan masalah, berarti ada yang tidak beres dari negara, padahal Indonesia negara demokrasi mengedepaankan keterbukaan publik dan memberi hak untuk menyampaikan ide, gagasan, kritik dan solusi terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa.

Dsebutkan oleh Filep Karm dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua”, dipertegas juga dengan pernyataan kawan papua saya terkait kondisi semacam itu.

Menurutnya, aparat keamanan melakukan tindakan kekerasan merupakan hal lumrah  dan orang papua yang menjadi korban merasa itu hal yang biasa bagi mereka. Budaya kekerasan seperti itu hal lumrah disana, hal itu terjadi karena proses kesejarahan kekerasan yang dilakukan aparat negara.

Maka negara secepatnya bersikap tegas terkait dengan Pendekatan militeristik di papua segera diakhiri biar tidak menimbulkan konflik-konflik baru yang merambah ke-generasi berikutnya. Ada tumpukan sejarah dan diingat dalam memori kolektif masyarakat papua.

Kekerasan di papua seolah-olah merupakan suatu hal yang wajar dalam pikiran aparat dan begitu pun juga masyarakat papua. Pelanggaran hak asasi manusia serta kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara di papua telah menjadi ritual harian mereka memandang, menganggap dan memperlakukan orang Papua sebagai setengah manusia, tidak diakui sebagai manusia pada umumnya.

PENDEKATAN GUS DUR TERHADAP SOSIAL-KULTUR PAPUA

Pada tahun 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI keempat menggantikan Bachruddin Jusuf Habibie, tentu masa itu banyak tantangan yang dihadapi oleh Gusdur dalam meneyeseaikan persoalan Bangsa Indonesia, dari aspek krisis ekonomi hingga reformasi 1998 terjadi lengsernya Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun.

Disisi lain banyak ancaman perpecahan (disintegrasi) wilayah-wilayah kepualuan NKRI. Pada pemerintahan Habibie sebelumnya, Timor Timur lebih dulu memilih merdeka melalui jejak pendapat 1999. Belum lagi kondisi negara sangat parah dengan masalah pemberontakan di Aceh dan Papua, kerusuhan Ambon dan Poso, serta reformasi birokrasi warisan Soeharto.

Sosok Gusdur memang kompleks dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia mampu meyikapi secara tegas masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, kita bisa membaca beberapa literatur atau karya dari Gusdur sendiri, banyak tantangan yang dihadapi, namun bagi Gusdur nilai kemanusiaan lebih tinggi dari pada politik.

Ada sembilan nilai utama Gusdur yang perlu kita kaji sebagai sumber ilmu pengetahuan untuk mempertimbangkan suatu kebijakan tertentu, diantaranya ; Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanan, Persaudaraan, Kesaktriaan dan Keraifan Lokal.

Dalam persoalan Papua dimasa mrak-maraknya diskriminatif, marjinalisasi dan kriris disegala bidang, justru Gusdur hadir di tengah-tengah masyarakat Papua dengan mengedepankan kearifan lokal, dan memberikan spirit kemanusiaan di tanah Papua, ditanggal 30 Desember 1999 atau 2 bulan 10 hari setelah Gusdur dilantik menjadi Presiden.

Tujuan Gusdur hanya dua, pertama, berdialog dengan berbagai elemen di Papua untuk mencari solusi ideal bagi masyarakat Papua, kedua ingin melihat matahari terbit pertama dari arah timur  (saat itu Irian Jaya).

Kurang lebih pukul 20.00 malam dialog diawali dengan menghadirkan sejumlah perwakilan dari elemen masyarakat Papua, Gusdur mendengarkan argumentasi, pendapat atau aspirasinya, sampai pada suatu hal yang berkaitan dengan menginginkan kemerdekaan dan berpisah dari Indonesia.

Gusdur merespon baik waktu itu, beberapa hal yang ditanggapi, tetapi ada yang lebih penting, terutama persoalan, “nama irin Irian itu jelek.” Kata Irian berasal dari bahasa Arab yang artinya telanjang.

Dulu ketika orang-orang Arab datang ke pulau ini, menemukan masyarakat masih telanjang, sehinggan disebut Iian, kedua, dalam tradisi orang jawa kalau memliki anak sakit-sakitan, sanga anak akan diganti namanya supaya sembuh. Biasanya sih namanya Slamet, tapi saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua.”

Sempat ada salah seorang antrologi Inondenesia, mencari arti dari Irian, namun ia tidak menemukan itu, Gusdur menyatakan kalau mencari tidak ditemukan artinya, berarti kan tida ketemu, bukan tida ada.

Kedua Gusdur memberikan Izin akan diadakannya Kongres Papua, sekaligus menyumbang dana untuk biaaya tersebut. Walaupun banyak protes dikalangan masyarakat, Gusdur justru memberikan apresiasi atas berjalannya Kongres tanpa memperdulikan yang lain.

Kita sebagai masyarakat Indonesia perlu untuk mengkaji dan mempelajari Sosok Pemikiran Gusdur yang sudah disumbangsihkan untuk bangsa dan negara, lebih-lebih konteks ide dan gagasan Gusdur dalam membangun sosial masyarakat yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusian untuk kepentingan bersama.

Metode pendekatan kultural dan ruang dalogis yang menjadi stategi bagi Gusdur untuk mencari sebuah problematika permasalahan yang ada di Papua untuk segera disikapi dan duduk bersama mengkaji, berdiskusi dan menemukan solusi bersama dan menghasilkan kesepakatan, bukan dikit-dikit aparat keamanan negara yang menjadi solusi bagi masyarakat di Papua.

Disisi lain Gusdur adalah ulama’ termasyur yang selalu dihormati atas latar belakang keluarga dan pendidikannya di kalangan masyarakat Indonesia, terutama persoalan keilmuan dan kehumorisannya menjadi karakter atau ciri khasnya sebagai Presiden Indonesia yang cakap dan tegas menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia.

Walaupun terkadang kelihatan banyak leluconnya ketika menyampailan kebijakan publik, namun berbobot dan mengandung berbagai hikmah yang perlu kita petik di dalamnya sebagai refleksi untuk menjadi manusia yang manusiawi.

Penulis ; Muhammad Andrea

Refrensi terkait :

gusdurian.net

rumahsosiologi.com

www.suara.com

www.merdeka.com