Gagal Kabur, Ferdian Paleka Harusnya Belajar pada Eddy Tansil

ZONATIMES.COM – Tak butuh waktu lama, tim gabungan dari Jatanras Polda Jawa Barat bersama Satreskrim Polrestabes Bandung akhirnya berhasil menangkap Youtuber Ferdian Paleka dan rekannya. Keduanya merupakan konseptor aksi prank bantuan sembako isi sampah. Ferdian Paleka dan Aidil ditangkap di tol Jakarta – Merak, daerah Tangerang saat hendak kabur melalui Pelabuhan Merak pada Jumat (8/5/2020) pukul 01.00 WIB.

Seperti diketahui, Ferdian bersama rekannya TF dan A, melakukan aksi prank dengan memberikan bantuan sembako dalam kardus yang ternyata isinya sampah dan batu ke beberapa waria atau kepada mereka yang mengklaim diri sebagai transpuan.

Dalam pelarian seperti ini seharusnya ia belajar pada Eddy Tansil, sosok patron yang berhasil kabur dari ketatnya penjagaan LP Cipinang. Eddy merupakan buron koruptor terlama di Indonesia, 24 tahun kabur dan belum ditemukan hingga saat ini. Celakanya, sebelum kabur  ia berhasil menggarong uang Negara sebesar  Rp. 1,3 triliun.

Sosok Eddy Tansil

Eddy Tansil atau Tan Tjoe Hong atau Tan Tju Fuan lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2 Februari 1953 adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang melarikan diri dari penjara Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika  sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.

Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di provinsi Fujian, China.

Pada 29 Oktober 2007, Tempo Interaktif memberitakan bahwa Tim Pemburu Koruptor (TPK) – sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari adanya bukti dari PPATK  bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.

Akhir 2013, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa Eddy Tansil telah terlacak keberadaannya di China sejak tahun 2011 dan permohonan ekstradisi telah diajukan kepada pemerintah China.

Awal mula kasus terungkap

Dilansir dari pusat data Harian Kompas, kasus ini terungkap saat rapat dengar pendapat antara Komisi VII DPR dengan Gubernur Bank Indonesia J Sudrajad Djiwandono tahun 1993. Saat itu, anggota Komisi VII dari Fraksi Karya Pembangunan AA Baramuli menjadi tokoh penting. Mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) itu mengungkap secara gamblang petunjuk kemungkinan adanya penyelewengan uang dalam jumlah besar dalam kasus kredit yang dikucurkan Bapindo kepada bos GKG Eddy Tansil tanpa adanya jaminan yang jelas.

Belakangan ada dua nama pejabat penting yang diketahui memberikan referensi layak kredit untuk Eddy Tansil yang ditujukan kepada jajaran pimpinan tertinggi di bank milik pemerintah itu. Keduanya adalah mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin dan Ketua DPA Laksamana (Purn) Sudomo.

Namun, tidak ada bukti keterkaitan mengenai aksi Eddy Tansil dengan dua orang itu. Di dalam pengadilan terungkap adanya pembobolan uang negara sebesar 430 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,3 triliun. Atas perbuatannya, Eddy diganjar hukuman penjara 17 tahun, uang pengganti Rp 500 miliar dan denda Rp 30 juta, termasuk penyitaan sejumlah aset miliknya.

Selain Eddy Tansil, vonis juga dijatuhkan kepada para petinggi Bapindo yaitu Subekti Ismaun (penjara enam tahun ditambah denda Rp 30 juta), F Bambang Kuntjoro (penjara empat tahun ditambah denda Rp 15 juta), Sjahrizal (penjara enam tahun ditambah denda Rp 30 juta) dan Towil Heryoto (penjara delapan tahun ditambah denda Rp 30 juta).

Ditambah, Kepala Cabang Bapindo almarhum Maman Suparman yang diganjar penjara sembilan tahun ditambah denda Rp 15 juta. Nama yang belakangan ini kemudian meninggal dunia semasa menjalani masa hukumannya dan sedang mengupayakan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas kasusnya.

Seluruh terdakwa kemudian mengajukan banding. Namun, oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, hukuman Eddy diperberat menjadi 20 tahun dan ada kewajiban membayar uang pengganti dan denda dengan jumlah yang sama. Upaya kasasi yang diajukan Eddy dan para terpidana lainnya pun ditolak Mahkamah Agung. Mereka akhirnya tetap dijebloskan ke penjara. Namun, negara harus “Gigit jari.” Pasalnya, setelah dihitung aset Eddy Tansil hanya sekitar Rp 100 miliar.

Sampai saat ini, 24 tahun pasca melarikan diri, Eddy masih bisa dengan leluasa menghirup udara bebas. Hal ini merupakan tamparan keras  bagi institusi penegakan hukum di Indonesia.

Penulis: M Yahya Wildan, pemuda Kepulauan Selayar