Kehidupan Sekuler Merusak Moral dan Akhlak pada Anak

Oleh: Nelly, M.Pd.

Baru-baru ini masyarakat Indonesia tengah dihebohkan dengan berbagai kasus anak kandung yang menggugat atau melaporkan orang tuanya sendiri ke pihak berwajib.

Sebagian besar masalah tersebut dipicu karena harta warisan atau materi. Seperti dilansir dari laman berita Pikiran Rakyat – Beberapa waktu lalu di Bandung geger kabar seorang anak tuntut ayah kandungnya sendiri dengan gugatan sebesar Rp 3 miliar.

Kasus yang sama juga terjadi pada seorang ibu bernama Ramisah (67) warga Kelurahan Candiroto, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah digugat oleh anak kandungnya, Maryanah (47). Kasus ini dimulai karena pertikaian perihal masalah tanah warisan. Tanah itu merupakan warisan dari mendiang suaminya, Ngaman, yang telah meninggal tahun 2011 lalu. Di tanah seluas 420 meter persegi yang disengketakan pula, Ramisah membangun sebuah warung kecil dan gubuk sederhana untuk bertahan hidup.

Maryanah menggugat Ramisah, karena tinggal di tanah yang ia klaim sebagai miliknya. Dia meminta ibunya pergi dari tanah dan gubuk itu segera (Kumparan.com, 25/1/2021).

Fenomena kasus anak gugat orang tua gara-gara harta warisan ini bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya sudah banyak kasus serupa terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Namun kasus ini semakin marak terjadi lagi di tahun 2021 ini.

Faktor Penyebab Anak Durhaka

Menanggapi berbagai kasus tersebut, Dekan Fakultas Hukum dari Universitas Surabaya (Ubaya) Dr Yoan Nursari Simanjuntak SH MHum, mengatakan kasus anak melaporkan orang tua terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik dan hubungan yang erat diantara keluarga. Bahkan ia juga menduga, kondisi pandemi COVID-19 membuat pikiran orang menjadi tumpul dan gampang emosi. Karena terdesak, pikirannya hanya uang. Sehingga pikiran sehat tidak lagi muncul. Jadi kasih sayang dan hormat kepada orang tua sudah hilang, Basra, Selasa (26/1).

Sementara tanggapan lain atas fenomena tersebut disampaikan oleh Psikiater Teddy Hidayat yang menyatakan bahwa kasus anak menggugat orang tua tersebut sangat berhubungan dengan lunturnya budi pekerti dan moralitas. Dimana dahulu orang tua itu sangat dihormati dan menjadi pujaan, kini malah diperkarakan di pengadilan. Menurutnya budi pekerti sekarang ini sudah luntur, bagiamana menghormati orang tua, sekarang malah gara -gara harta, anak malah menggugat orang tua ke pengadilan.

Menurut Teddy, kalau pun orang tua melakukan satu kesalahan, seharusnya dimaafkan karena bagaimanapun dia itu yang melahirkan kita, membesarkan kita, mengurus hingga membesarkan kita. Kini setelah anaknya dewasa, seharusnya membahagiakan orang tua atau memberi kasih ke orang tua malah mempersoalkannya, lebih parahnya lagi persoalan itu dibawa ke pengadilan. Inilah moralitas sebagai anak terlihat jelas, sudah tidak ada lagi perasaan ikatan batin sebagai anak kepada orang tuanya,” katanya.

Lunturnya moralitas, menurut Teddy Hidayat akibat arus pertumbuhan teknologi informasi yang begitu dahsyat dan tidak diimbangi peningkatan moralitas. “Perbaikan moralitas berjalan lamban, sedangkan teknologi informasi begitu cepat. Inilah PR kita semua, bagaimana mengembalikan moralitas anak bangsa supaya kembali terjaga,” ujarnya. Sementara itu Dosen Fakultas Psikologi Gianti Gunawan menyayangkan terjadi peristiwa anak menggugat orang tua. Apalagi orang tuanya sudah berusia lanjut.

Menurut dia, secara psikologis, diusia lanjut, individu mengalami banyak penurunan, baik dalam hal kesehatan, kekuatan, peran sosial dan penghasilan. Justru di usia inilah, orang tua sangat memerlukan dukungan sosial, terutama dari keluarga terdekatnya, yaitu anak, menantu dan cucu-cucunya. Bagi anak, masa ini merupakan masa yang tepat untuk membalas jasa orang tua. Karena anak sudah berada pada usia dewasa, dimana mereka sudah mandiri, memiliki pekerjaan, memiliki pasangan dan anak,” ujar Psikolog yang kini menempuh S3 ilmu psikologi di Unpad itu.

Secara psikolog, menurut Gianti, fenomena anak gugat orangtua itu bisa aja terjadi dan diantaranya bisa disebabkan beberapa faktor. Seperti pola asuh yang salah, anak terlalu dimanjakan, semua keinginannya dipenuhi, akibatnya anak memiliki toleransi yang rendah dan tidak bisa menahan keinginannya. “Selain itu, prilaku agresi/kekerasan yang dilihat dikehidupan kemudian ditiru,” ujarnya.

Kemudian menurut Gianti, bisa dipengaruhi lingkungan, seiring bertambahnya usia anak, dia akan bertemu banyak orang dan bisa jadi tidak selalu memberikan pengaruh yang positif. Baik dari teman maupun pasangan hidup.

Sehingga ketika ada sedikit saja masalah dengan orang tua atau keluarga, ia akan lebih percaya orang lain yang dianggap ada dipihaknya, seperti pengaruh menantu. Selanjutnya bisa dikarenakan gaya hidup hedonis saat ini seringkali membuat orang terlena dan membuat menghalalkan segala cara untuk dapat menikmatinya.
“Komunikasi yang tidak berjalan dua arah secara memadai antara anak dan orang tua sehingga maksud antara kedua belah pihak tidak diterima secara objektif dan terjadi kesalahpahaman.

Dari berbagai pendapat para ahli dan pakar psikologi anak, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang dominan dalam membentuk karakter anak dan kepribadiannya hingga anak berubah menjadi durhaka pada orang tuanya adalah rendahnya pemahaman agama, pendidikan dari orang tua, pendidikan dari sekolah dan penerapan sistem kehidupan bernegara oleh negara.

Pendidikan pertama bagi seorang anak tentunya adalah ada dipundak orang tua bagaimana menanamkan aqidah Islam terhadap anaknya akan iman dan takwa. Dengannya akan lahir sikap dan prilaku akhlak yang terpuji. Orang tua jualah yang harus menyampaikan bagaimana seharusnya anak bersikap pada orang tuanya sesuai ajaran Islam.

Dalam Islam sendiri salah satu ibadah teragung setelah mentauhidkan Alloh Subhanahu wa Taala adalah berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti kepada kedua orang tua merupakan ajaran Islam yang tinggi dan mulia. Berbakti kepada kedua orang tua ialah pondasi dan asas seorang hamba meraih ridho Alloh Subhanahu wa Taala. Dia juga merupakan bentuk manifestasi syukur kepada Alloh Subhanahu wa Taala sekaligus kepada manusia. Iman dan Islam seseorang tidak akan sempurna jika tidak diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ajaran berbakti kepada kedua orang tua. Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk memuliakan dan menghormati kedua orang tua. Bahkan, Islam menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai sarana meraih Surga Alloh Subhanahu wa Taala. Sungguh sangat rugi dan celaka seorang Muslim yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup, namun dia tidak bisa memanfaatkan keberadaan orang tuanya untuk masuk surga karena tidak berbakti kepadanya.

Kesuksesan seseorang baik di dunia maupun di akhirat tidak bisa dipisahkan dengan peran kedua orang tua. Alloh Subhanahu wa Taala telah menjadikan naluri manusia untuk menghormati, mengasihi, dan senantiasa berbakti pada kedua orang tua. Karena besarnya kewajiban berbakti kepada kedua orang tua tersebut, Alloh Subhanahu wa Taala mengiringkan perintah untuk bertauhid dengan perintah berbakti kepada kedua orang tua.

Alloh Subhanahu wa Taala berfirman dalam al-Quran surat al-Isra ayat 23, artinya: “Robb kalian telah memerintahkan supaya kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya dan hendaklah kalian berbakti pada ibu bapak kalian dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaan kalian, maka sekali-kali janganlah kalian mengatakan kepada keduanya perkataan ah, dan janganlah kalian membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitroh. Alloh Subhanahu wa Taala menciptakan manusia sesuai dengan fitrohnya yaitu berkasih sayang kepada sesama terutama kepada kedua orang tua. Kewajiban berbakti kepada kedua orang tua pun tidaklah gugur meskipun seorang anak telah berkeluarga atau orang tua telah meninggal dunia.

Kemudian yang perlu dipahami juga seperti apa yang disampaikan oleh para pakar di atas penyebab anak menjadi durhaka yaitu kehidupan hedonis, materialistis, tekanan ekonomi yang berat ini adalah buah dari negara yang menerapkan sistem kehidupan kapitalis-sekuler.

Kehidupan yang jauh dari tatanan kehidupan yang takwa, membuat masyarakat termasuk anak jauh dari ajaran agamanya. Kehidupan sekuler juga menciptakan pola hidup bebas dan hedonis, anak generasi maunya hidup yang berfoya-foya, senang-senang dengan cara instan.

Kehidupan kapitalis sekuler juga yang membuat kehidupan serba sulit, beban hidup sangat berat, sehingga orang akan berfikir bagaimana caranya agar bisa dapat uang banyak dengan cara mudah, hingga tak habis fikir untuk berbuat yang diluar nalar dengan memperkarakan orang tua demi mendapat harta warisan.

Kehidupan sekuler juga yang mengakibatkan tujuan hidup manusia hanya berorientasi pada materi, uang dan harta. Maka tak salah jika anak-anak akan tumbuh menjadi anak yang berfikiran dengan uang bisa meraih segalanya.

Inilah akar masalah mengapa ada anak durhaka dengan orang tuanya, generasi kehilangan arah hidupnya. Peran negara sangat besar membentuk kehidupan masyarakat yang memiliki tata nilai ruhiyah iman dan takwa, membentuk moralitas, sejahtera, adil dan makmur.

Maka, jika ingin mendapatkan kehidupan yang masyarakatnya memiliki kepribadian Islam dan pola pikir Islam serta jauh dari berbagai problem kehidupan. Tidak ada jalan lain selain kembali pada sistem aturan Islam sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW contohkan.

Wallahu ‘alam bis showab

Penulis adalah Akademisi dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat