Kontestasi Masa Pandemi: Kuliah Jalan Monoton, UKT Lari Maraton

ZONATIMES.COM, Opini – Berbicara mengenai pendidikan adalah hak seluruh warga Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 pada alinie ke 4 yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, sejatinya fungsi dan cita-cita dari pendidikan itu sendiri.

Banyak orang yang merasa sulit untuk masuk di perguruan tinggi karena keterbatasan ekonomi, padahal idealnya masuk perguruan tinggi adalah hak kita, yang dalam arti sesuatu yang harus kita dapatkan tanpa syarat dan ketentuan.

Namun, realitas pendidikan saat ini tidak didapat dengan cuma-cuma melainkan mempunyai syarat dan ketentuan yang salah satunya untuk menempuh pendidikan, harus membayarnya. Pendidikan seakan di liberalisasi dan dikomodifikasi, yang pada masyarakat umum hal ini dianggap biasa dan sah-sah saja.

Dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuannya adalah membangun karakter manusia yang tercerahkan, suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas.

Pendidikan yang terjebak pada pragmatisme untuk kepentingan kapitalisme merupakan eksploitasi atas esensi terbentuknya lembaga pendidikan. Menurut Marx, pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati.

Sejarah Singkat Perguruan Tinggi

Melirik dari sejarah bahwa pada masa era Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno yang menganut sosialisme dan dengan prinsip berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) sehingga bisa terlihat bahwa pada saat itu bisa dibilang pendidikan tidak dipungut biaya berbeda dengan era Orde Baru dibawa kepemimpinan Soeharto, Sosialisme telah digantikan dengan kapitalisme.

Terciptanya UU penanaman modal asing, Indonesia mulai mengikuti atau mengkiblatkan barat yang berdampak adanya campur tangan IMF dan Word Bank dalam penyelenggaraan pendidikan dengan bergabungnya Indonesia dalam organisasi WTO melalui penandatanganan General Agreement on Trade in Service atau GATS sebagai salah satu skema penghisapan yang mengikat bagi seluruh negara anggotanya dalam sektor perdagangan, skema liberalisasi tidak hanya dalam sektor perdagangan, namun juga menarik sejumlah sektor kedalam sektor jasa sehingga dapat diperdagangkan dan memberikan keuntungan yang melimpah.

Di bawah kesepakatan GATS-WTO, WTO telah meletakkan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa, berdampingan dengan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya sangat menjanjikan keuntungan yang melimpah dan sejak saat itu pendidikan kita masuk dalam cengkraman liberalisasi pendidikan.

Masa Pandemi Covid-19

Dunia tengah dilanda pandemi yang saat ini telah menyebar ke 213 negara dan wilayah. Virus corona yang lazim disebut juga Covid-19 adalah virus yang penularannya terbilang sangat cepat dengan dampak yang di timbulkan, salah satunya beresiko pada kematian. Namun, tidak menutup kemungkinan penyakit ini pula bisa di sembuhkan.

Dengan adanya Covid-19 mengharuskan pemerintah mengambil langkah antisipasi ekstra tinggi. Salah satunya, meniadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan orang banyak salah satu contohnya melakukan program Psysical Distancing atau menjaga jarak, yaitu serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular.

Dari perspektif struktural fungsional, elemen yang ada dimasyarakat satu kesatuan yang seling berkaitan, dengan demikian hubungan pengaruh dan mempengaruhi dari lembaga yang ada dimasyarakat. Seperti halnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk pencegahan penularan covid-19 berdampak pada segala sendi kehidupan, baik sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain lain.

Upaya Pemerintah untuk memberlakukan Karantina wilayah dan PSBB (Pembatasan sosial berskala besar) adalah sebuah dilematis ketika meresponnya karena antara keselamatan  dan kebutuhan hidup tidak dapat dipisahkan.

Suara Mahasiswa di Masa Pandemi

Fenomena dari dampak kebijakan pemerintah beberapa orang harus kehilangan pekerjaan  (PHK) dan sebagian orang terpaksa harus dirumahkan. Tidak jarang Orang tua atau wali mahasiswa terdampak masalah tersebut. Berdasarkan masalah tersebut LK UNM melakukan survey kepada mahasiswa aktif terkait pendapatan orang tua atau wali yang membiayai.

Sebanyak 3.023 responden ialah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 7 orang, penurunan pendapatan 2.509 orang, dirumahkan atau tidak mengalami penurunan pendapatan 507 orang. Dari data survey tersebut mengenai dampak perekonomian orang tua atau wali mahasiswa yang diajukan kepada mahasiswa aktif, sebagian besar berprofesi sebagai buruh, petani, pedagang dan pekerja lainnya terdampak perekonomiannya.

Kebijakan pemerintah dan birokrasi yang juga mengubah Kurikulum dan metode pembelajaran yang dulunya interaksi langsung bertatap muka menjadi interkasi dengan bantuan gadget atau kuliah online.

Perubahan yang tidak dikehendaki atau ketidaksiapan mahasiswa maupun dosen akan berdampak pada disintegrasi. Dari data riset LK UNM responden sebanyak 2.721 mahasiswa Universitas Negeri Makassar ialah terkendala jaringan (790 Responden), pembelajaran tidak efektif (281 Responden), keluhan biaya internet (1.102 Responden), beban tugas yang berat (117 Responden), Mata kuliah yang bertabrakan (203 Responden), fasilitas yang tidak memadai (234 Responden).

Berbicara UKT yang biasa disebut dengan Uang Kuliah Tunggal adalah uang yang dibayarkan mahasiswa dalam menempuh pendidikan tinggi per semester berdasarkan kemampuan ekonomi. UKT sangat erat kaitannya dengan BKT dan BOPTN, Kalkulasi untuk menghitung UKT = BKT – BOPTN.

BKT kepanjangan dari Biaya Kuliah Tunggal atau biasa disebut dengan keseluruhan biaya operasional dalam menempuh pendidikan. BKT terbagi menjadi dua yang dimana biaya langsung dan biaya tidak langsung. Permenristekdikti No.39 tahun 2019 tentang SSBOPT (Standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi) pasal 4 yakni Biaya langsung adalah biaya operasional yang terkait langsung dengan penyelenggaraan Program Studi dan biaya tidak langsung yakni biaya operasional pengelolaan institusi yang diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan Program Studi.

Karena UKT erat kaitannya dengan BKT, maka selama pandemi fasilitas dan akomodasi yang dirasakan hanya kuota 10GB dengan seharga Rp. 50.000 yang didapatkan 3 kali, jadi rekapitulasi kuota RP. 150.000 dan jasa dosen sebagai penunjang, lantas yg menjadi pertanyaan mendasar lari kemana UKT yg dibayarkan mahasiswa dimasa pandemi? Membenturkan dengan Teori Hukum kausalitas yang merupakan prinsip sebab akibat, biaya muncul dikarenakan adanya jasa atau fasilitas.

Selama pandemi dengan kuliah daring jasa atau fasilitas kurang memadai, sehingga sebab dan akibatnya sarana dan prasarana kurang terpakai yang mungkin saja biaya yang dikeluarkan berbeda dengan pada saat kuliah bertatap muka tanpa bantuan gedget. Harus diketahui juga bahwa dengan status yang disandang UNM sebagai PTN BLU maka pendapatan Kampus bukan hanya dari UKT melainkan dari APBN/APBD, Hibah masyarakat, kerjasama kampus, dan Usaha yang dikelolah kampus.

Hal tersebut mengundang mahasiswa melakukan aksi demonstrasi untuk mempertanyakan tranpransi pengeluaran kampus dimasa pandemi dan menuntut digratikasnnya UKT. Sehingga ada baiknya birokrasi berkerjasama dengan melakukan transparansikan biaya dimasa pandemi karena kita ketahui bersama bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Asumsi penulis tanpa adanya transparansi berarti ada perubahan signifikan terkait pengeluaran atau biaya operasianal dimasa pandemi dan pastinya biaya operasional sangat berkurang karena sarana dan prasaran tidak terpakai dimasa pandemi sehingga kurangnya biaya yang dikeluarkan pihak kampus.

Sangat jelas juga pada UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pasal 78 yakni akuntabilitas akademik maupun non akademik, pertanggung jawaban yang seharusnya dipublikasikan kepada masyarakat. Jadi tanpa mahasiswa meminta akuntabilitas maupun transparansi biaya, sudah menjadi kewajiban pihak kampus untuk mempublikasikannya.

Adapun kebijakan yang dikeluarkan pihak kampus yang pertama melalui surat edaran No. 1199/UN36/TU/2020 tentang mekanisme penyesuaian UKT pada masa pandemi Covid-19 di Lingkup UNM.

Sebelum adanya pandemi Covid-19, diketahui bahwa UKT berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa atau pihak yang membiayai dan pihak kampus berkewajiban melakukan perubahan atau peninjauan ulang UKT ketika ada perubahan penghasilan mahasiswa baik orang tua atau wali sesuai Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017 pasal 5. Yang kedua kebijakan dengan surat edaran Rektor No. 933/UN36/TU/2020 tentang Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pembelajaran dalam rangka menyikapi mondisi pandemi Covid-19 dilingkungan UNM, salah satu kebijakan tersebut ialah mahasiswa yang telah menyelesaikan seminar proposal dan telah melulusi semua MK selain skripsi akan dibebaskan UKT semester ganjil tahun akademik 2020/2021.

Sebuah tanda tanya besar? mengapa harus yang telah melulusi semua MK yang dibebaskan uktnya? Bukanka BKT atau Biaya operasionalnya makin sedikit ? yang seharusnya pemotongan ukt atau bahkan pembebasan ukt adalah mahasiswa yang masih banyak mata kuliah yang di program karena biaya operasionalnya juga bnyak dibandingkan mahasiswa yang hanya program skripsi,

Penulis menganggap respon birokrasi tidak begitu respect dalam penanganan dampak Covid-19 kepada mahasiswa, pihak kampus takut rugi, mencari aman dan untung sendiri di masa pandemi ketika tidak ada kebijakan untuk seluruh mahasiswa salah satunya pemotongan UKT karena dari riset yang dilakukan LK UNM bahwa banyak mahasiswa atau pihak yang membiayai berdampak pada penurunan perekonomian.

Selain itu juga tidak efektifnya metode kuliah daring, tidak adanya transparansi unit cost atau BKT, sarana dan prasarana tidak memadai, bantuan kuota dan pelayanan yang tidak sebanding dengan UKT yang telah dibayarkan, kebijakan yang hanya mencari aman, dan dapat disimpulkan bahwa kapitalisme lebih eksis disaat pandemi dalam hal ini kuliah jalan monoton, UKT lari maraton.

Oleh: Vivi Alfahira
Penulis merupakan mahasiswi S1 Sosiologi Fakultas Ilmu sosial, Universitas Negeri Makassar (UNM), tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.