Menyoal Wajah Pendidikan Indonesia

Oleh: Fajar Muharram

Pendidikan merupakan pilar utama humanisasi manusia untuk membangun peradaban suatu bangsa dan negara. Kesadaran akan arti penting pendidikan akan menentukan kualitas kesejahteraan lahir batin dan masa depan warganya. Oleh karena itu, substansi pendidikan baik dari sisi, materi pengajaran, metodologi pembelajaran, serta manajemen pendidikan yang akuntabel sudah seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara kita hari ini. Terbukti bahwa seluruh bangsa yang berhasil mencapai tingkat kemajuan kebudayaan dan teknologi tinggi mesti ditopang oleh kualitas pendidikan yang sangat kokoh. Dikarenakan pendidikan berperan penting terhadap kemajuan peradaban. Bahkan maju mundurnya suatu peradaban bangsa Indonesia adalah ketika daya kreativitas anak bangsa tidak dikungkung oleh sistem-sistem yang hegemonik.

Berangkat dari dinamika pendidikan yang terejawantahkan dalam satuan pendidikan  menuntut eksistensi pendidikan semakin menemukan muaranya di Indonesia. Pada saat ini masih menjadi permasalahan karena masih banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang layak atau dengan kata lain pendidikan adalah hak semua anak-anak bangsa. Sebagaimana mestinya, ada juga yang sama sekalipun belum pernah mencicipi ruang-ruang pendidikan sama sekali. contoh kecilnya adalah  kaum akar rumput dalam hal ini sangat memprihatinkan di tengah kondisi negara yang berada diambang krisis zaman. Sebenarnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti anak-anak yang sudah mendapat pendidikan yang layak seperti contoh kaum kelas elit atau mereka yang ber-uang.

Ada beberapa hal yang membuat pendidikan di Indonesia semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Pertama, kecenderungan pendidikan Indonesia yang semakin elitis dan tak terjangkau untuk kaum ‘akar rumput’ . Dalam hal ini, pemerintah dituding membuat kebijakan yang diskriminatif sehingga menyulitkan kaum ‘akar rumput’ mengakses pendidikan. Kedua, lahirnya sistem pendidikan yang tidak memberdayakan. Dalam konteks ini, kebijakan yang dibentuk semata-mata untuk mendukung status quo dan memapankan kesenjangan sosial. Ketiga, kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat realitas generasi yang bertindak amoral, sehingga sering dikatakan pendidikan minus etika publik.

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada beberapa  dari mereka yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik hanya untuk kaum kelas elit. Dengan bermodalkan kemampuan ekonomi yang lebih dari cukup, menjadi faktor pendukung untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih baik. Selain itu, tersedianya sarana prasarana yang lengkap membantu untuk mewujudkan pendidikan yang mapan. Pada saat sekarang pendidikan yang ada di Indonesia berbentuk sistem pasar yaitu bagi mereka yang memiliki uang banyak maka mereka akan mendapatkan pendidikan yang layak.sebenarnya hal tersebut disayangkan untuk terjadi.

Seperti yang kita ketahui  pendidikan adalah proses mewariskan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Jangan sampai generasi itu terputuskan dengan begitu saja. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah diemban oleh orang-orang yang terbeban terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi ke depan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Betapa sangat pentingnya pendidikan ini negara-negara yang maju pun tentunya tidak akan terlepas dari peran pendidikan.

Berbicara tentang pendidikan ini Dalam UUD pasal 31 ayat 1 dan 2 sudah jelas yaitu bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, negara juga memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD.

Berbagai fenomena kebijakan pendidikan justru menimbulkan ketimpangan dalam pengimplementasianya. Salah satunya adalah sistem UKT BKT yang menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa yang tidak memiliki finansial cukup di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Kebijakan tentang uang kuliah tunggal (UKT) diterapkan berdasarkan Permendikbud Nomor 55 tahun 2013 yang telah terjadi perubahan pada Permen No 73 tahun 2013. Tujuan diterapkannya sistem UKT adalah untuk meringankan beban mahasiswa terhadap pembiayaan pendidikan. Sejak mulai diberlakukannya kebijakan tersebut tentunya menuai berbagai tanggapan dari kalangan mahasiswa maupun pihak universitas, Tidak terkecuali di Universitas Islam negeri Alauddin makassar.

UKT adalah estimasi biaya yang harus dibayarkan oleh mahasiswa pada setiap semester berjalan. Kebijakan UKT yang diturunkan pihak kampus untuk meringankan biaya pendidikan mahasiswa sendiri dibagi dalam beberapa kategori. mengklasifikasikan UKT menjadi 7 kategori. Dari pengkajian yang saya lakukan kepada calon mahasiswa baru di UIN Alauddin makassar tahun akademik 2019 sampai dengan tahun ajaran 2021 yang dimana orang tua atau penanggung biayanya dianggap mampu secara finansial akan dikenakan UKT pada kategori 4 (empat) sampai 7 (tujuh) sedangkan yang dianggap secara finansial kurang mampu dikenakan UKT pada kategori 1 (satu) sampai 3 (tiga).

Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan di UIN Alauddin Makassar (UINAM) adalah kebijakan yang katanya ditujukan untuk lebih membantu dan meringankan biaya pendidikan mahasiswa. Jika kita kuliah sistem UKT yang kemudian diterapkan  di UIN Alauddin Makassar adalah sistem subsidi silang. Dengan dalih memberikan sistem yang merata. Dengan sistem ini  mahasiswa UINAM di iming-imingi dapat menikmati pendidikan lebih murah sesuai dengan kemampuannya tanpa harus memikirkan pungutan  yang selalu besar di awal perkuliahan.

Sedikit mengulas, sebenarnya pemerintah menerapkan kebijakan UKT adalah untuk meningkatkan tanggung jawab negara dalam menyediakan pelayanan pendidikan tinggi dengan menghapus stigma “pendidikan Mahal” yang dirasa memberatkan mahasiswa sebagai penikmat layanan pendidikan. Sebelum mengulas lebih jauh aspek mendasar dari kebijakan UKT, kiranya perlu dikritisi derajat keabsahan kerangka regulasi yang mengkungkung kebijakan ini. Berangkat dari Surat Edaran, Dirjen Dikti  UKT menjadi upaya pemerintah untuk menghapus beban uang pangkal yang dirasakan memberatkan finansial mahasiswa, larangan menaikkan SPP mahasiswa, sekaligus penerapan UKT untuk mahasiswa S1 Reguler. Perlu dipertanyakan apakah Surat Edaran Dikti cukup kuat untuk menjadi kerangka regulasi bagi kebijakan yang berimplikasi serius kepada mahasiswa yang dibebankan biaya UKT dan pengelolaan keuangan PTN? Berdalih “Menghindari kerugian” bukan hal yang selayaknya diiyakan oleh lembaga pendidikan kita, apalagi orientasi negara dalam pembukaan konstitusi UUD 1945 telah jelas “…Mencerdaskan kehidupan banga.” Ditambah kondisi kebangsaan dilanda pandemi COVID-19 yang menyerang sektor perekonomian, berdampak pada regulasi yang kian memburuk.

Di samping kerangka regulasi yang penuh problematik, kebijakan UKT sebenarnya masih menyimpan sejumlah tanda tanya besar, karena fakta dilapangan kita sering dihadapkan dengan ketidakjelasan penentuan besaran UKT oleh pihak birokrat dalam menghitung besaran yang akan dibebankan kepada mahasiswa baru. Mengangkat salah satu kasus kemarin, tentang bagaimana kemudian regulasi yg bergulir di tataran fakultas  mengkungkung hak-hak mahasiswa baru untuk menikmati pendidikan lebih murah sesuai dengan kondisi finansialnya. Kontradiktif  tersebut diperparah dengan tidak adanya transparansi terkait cara penghitungan serta aliran dana dari UKT ini digunakan untuk apa saja, padahal keterbukaan dalam hal tranfaransi dana public ini wajib dilakukan oleh lembaga-lembaga Negara sebagaimana yang telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2010 yang merupakan pelaksanaan Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi Publik. Yang berimbas kepada keterpaksaan  mahasiswa mengambil cuti bahkan di drop out akibat ketidakmampuan membayar UKT.

Jika kita kritisi lebih dalam regulasi UKT yang kemudian bergulir di tataran fakultas itu melahirkan kontradiktif-kontradiktif baru berupa ketimpangan terhadap ( permendikbud no. 58 tahun 2012) tentang bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) yang merupakan bantuan biaya dari Pemerintah yang diberikan pada perguruan tinggi negeri untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di perguruan tinggi negeri. Regulasi ini kemudian menuai kontroversi karena adanya manifesto berupa komersialisasi pendidikan dalam dalam penerapan BOPTN yang dianggap lebih rumit dan berbelit-belit. Sehingga menjadi sangat kaku dan tidak adaptif terhadap konteks perguruan tinggi.

Selain itu penghapusan SPMA (sumbangan peningkatan mutu akademik) menurut saya menjadi tamparan keadilan dan memukul rata kapasitas finansial mahasiswa. Meskipun, acapkali SPMA dianggap sebagai pintu masuk bagi perguruan tinggi untuk memungut biaya yang tinggi, namun secara paradigmatik, mekanisme penetapan SPMA sebenarnya didasari pada asumsi bahwa kapasitas finansial mahasiswa sangat beraneka ragam dan memerlukan alokasi biaya yang berkeadilan. Tentu saja, pihak yang paling dirugikan dari kebijakan ini adalah orang tua calon mahasiswa yang memiliki pendapatan di atas margin terendah namun di bawah tarif UKT. Dengan kata lain, kebijakan ini akan sangat menguntungkan mereka yang berpenghasilan di atas tarif UKT dan mencekik orang tua mahasiswa yang tergolong menengah ke bawah. Ironisnya, pemerintah justru berdalih bahwa sistem UKT akan meringankan biaya mahasiswa.

Jadi jangan salahkan bila gema tuntutan “Uang kuliah tunggal (UKT) gratis,” atau paling tidak, ada regulasi yg sifatnya pro untuk digaungkan oleh teman-teman mahasiswa sampai hari ini. Tatkala pendidikan hari ini sudah menjadi barang mahal, praktik meraup keuntungan, lembaga pendidikan yang layaknya lembaga bisnis remang-remang, dengan terang benderang mengkungkung keangkuhan para birokrasi di dalamnya.

Dalihnya bermacam-macam dimulai tenaga pendidik profesional dan bermutu, fasilitas yang lengkap, terintegrasi dengan lembaga pendidikan luar negeri, sistem yang canggih, kurikulum serba unggul, serta jaminan lulusan laku di pasar kerja atau siap cetak menjadi wirausahawan, menjadikan lembaga pendidikan layaknya pasar transaksi ilmu dan pengetahuan. Terlebih lagi, di masa Pandemi Covid-19 saat sekarang yang bertengger regulasi para elit birokrasi kampus, mestinya lebih peka terhadap kondisi perekonomian keluarga peserta didik. Paling tidak regulasi ini segera mengeluarkan kebijakan berupa pemotongan hingga penghapusan biaya uang kuliah tunggal (UKT). Sebab, pertumbuhan ekonomi sedang tidak stabil dan roda perekonomian masyarakat macet akibat pandemi. Sudah barang tentu kondisi dunia hari ini memberikan gambaran umum tentang berbagai krisis yang melanda serta melumat dalam ruang kehidupan. Maka dengan ini pendidikan sudah seharusnya berintegrasi dalam mencerdaskan bangsa.

Semoga pendidikan hari ini segera tersadar bahwa proses humanisasi manusia tidak sekedar angka-angka rupiah. Terlebih lagi sebagai penduduk beragama dengan basis moral dan etika kekeluargaan haruslah berpihak pada kemanusiaan. Demi menuai pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penulis adalah: Ketua Umum Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Alauddin Makassar