Opini: Ramadan di Tengah Musibah

ZONATIMES.COM, MAKASSAR – Tak terasa umat Islam telah memasuki bulan Ramadan. Bulan yang di dalamnya penuh dengan keberkahan dan keistimewaan sehingga kedatangannya begitu sangat dirindukan.

Diantara perkataan para ulama terdahulu yang menunjukan kerinduan mereka akan datangnya bulan Ramadan adalah seperti apa yang diungkapkan oleh Yahya Bin Abi Katsir Rahimahullah. Beliau mengatakan bahwa salah satu do’a yang dipanjatkan para Salaf adalah do’a berikut, IinsyaAllah pertemukan diriku dengan Ramadan, selamatkan Ramadan untukku dan terimalah seluruh amalku di bulan Ramadan.

Namun ada yang berbeda di tahun ini. Jika di tahun sebelumnya umat Islam menghadapi bulan Ramadan di tengan wabah covid-19, di tahun ini umat Islam tidak hanya memasuki bulan Ramadan ditengah wabah covid-19, tetapi juga harus menghadapi bulan Ramadan di tengah musibah yang melanda negeri ini sejak awal 2021. Baik musibah jatuhnya pesawat, musibah banjir, longsor dan gempa bumi yang melanda beberapa wilayah di negeri ini.

Siapapun kita, tentunya tak ada satupun yang mengharapkan musibah, sebab musibah bagi sebagian orang dianggap sebagai musuh kehidupan. Semua orang tentunya ingin bahagia lahir maupun batin. Dalam setiap doa-doa kita selalu terucap permohonan keselamatan dari berbagai musibah dan bencana. Namun ketika Allah menimpakan musibah itu, mampukah manusia menghindarinya?

Musibah menurut kamus kontemporer Arab-Indonesia Krapyak, musibah berarti malapetaka (Kamus Krapyak,h.1742). Ia sinonim syiddah, karitsah, baliyyah dan makruh (idem). Seluruhnya bermakna sama kecuali dalam surat An Nisaa ayat 62 dan Al Qashash ayat 47 yang bermakna azab/uqubat bagi orang-orang kafir (Tafsir Jalalayn).

Musibah yang menimpa manusia bisa beragam, bencana alam, kehilangan harta, ditinggal orang yang dikasihi, dsb. Apapun, intinya menimbulkan kesulitan dan kesedihan pada manusia. Ada musibah yang bersifat individual, hanya dirasakan oleh segelincir atau seorang manusia saja, dan musibah yang dirasakan oleh banyak orang.

Musibah memang takdir-Nya. Ia adalah sunnatullah dari kehidupan. Para geolog atau ilmuwan mungkin hanya melihat gempa bumi akibat benturan lempengan bumi di lautan, atau desakan magma yang meluap atau air hujan deras yang kehilangan daerah resapannya hingga meluap ke habitat manusia. Tapi lebih dari itu, alam semesta dan segala fenomenanya adalah bagian dari kekuasaan Allah Swt.

Seperti kata fisikawan terkemuka Einstein bahwa, “Tuhan tidak bermain-main dengan alam semesta”. Musibah adalah petunjuk kekuasaan Allah yang mengecilkan kepongahan manusia. Jangankan melawan kekuatan alam semesta, ia bahkan bisa jatuh tak berdaya setelah diserang seekor nyamuk (aedes aegypti). Musibah juga bisa datang akibat tangan-tangan manusia yang telah melakukan kerusakan dan kemaksiatan dimuka bumi akibat melalaikan perintah dan larangan sang pencipta.

Dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 155, Allah Swt. telah menyatakan akan adanya berbagai musibah yang akan ditimpakan pada setiap manusia, “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang Sabar“.

Dan Bagi seseorang yang tawakkal kepada takdir, musibah tidaklah dijadikan sebagai sumber penderitaan, tetapi disikapi dengan mengimaninya sebagai sunnatullah yang akan terjadi dan bisa menimpa siapa saja. Mengikhlaskan segala yang sudah terjadi dan memaknainya sebagai ujian Allah yang akan menghapus dosa dan menambah kemuliaan dirinya.

Musibah pun dijadikan sarana untuk muhasabah/mengoreksi diri bahwa setiap musibah melanda, mungkin banyak perbuatan manusia yang melanggar aturan Allah, Swt.

Walhasil, melalui moment Ramadan ini mari kita gunakan untuk memperbaiki kualitas diri kita dengan melakukan beberapa hal. Pertama, bertobat dan mensucikan diri. Membersihkan diri dari segala dosa dan kemaksiatan apalagi ditengah-tengah musibah yang kita hadapi saat ini.

Kedua, bersyukur kepada Allah Swt. karena masih diberi kesempatan untuk berjumpa kembali dengan Ramadan. Ketiga, meningkatkan kapasitas ilmu agar Ibadah dan amal yang kita lakukan diterima Oleh Allah Swt.

Keempat, membulatkan niat dan memiliki himmah’aliyah (cita-cita tinggi) untuk berusaha memperbaiki perkataan dan perbuatan, bersungguh-sungguh dalam ketaatan menghadapi bulan Ramadan dengan amal shalih dan berpuasa dengan sebenar-benarnya sehingga bisa meraih gelar orang-orang yang bertaqwa.

Taqwa dalam artian melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangannya dan tentunya hal itu dapat terwujud jika kita menerapkan hukum-hukumNya secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan sehingga keberkahan kita dapatkan apalagi dibulan yang penuh berkah ini.Wallahu’Alam

Penulis : Rahmawati, S.Pd