Perempuan dalam Bayang-bayang Patriarki

ZONATIMES.COM, Opini – Tuhan sangat mempercayai perempuan, sehingga dalam dirinya ada proses kehidupan, dari air mani ditambah sel telur perempuan menjadi segumpal darah. Gumpalan-gumpalan darah tersebut menjadi daging dan tulang hingga membentuk manusia utuh. Proses yang berjalan selama lebih kurang sembilan bulan merupakan tanggungjawab perempuan yang tak bisa dilakukan laki-laki.

Seharusnya laki-laki yang cemburu pada perempuan, karena Tuhan memilih dia untuk hamil dan melahirkan. Perempuan dianggap sebagai pemilik kedudukan yang istimewa karena fungsinya yang terpenting dalam melahirkan anak, yang merupakan kelanjutan umat manusia.

Lalu pekerjaan berat apalagi yang diinginkan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya? Apakah perempuan memandang kehamilan hanyalah kodrat? Bukan sebuah pekerjaan yang dititipkan Tuhan? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terlihat, bagaimana sebetulnya feminisme kehidupan yang diinginkan perempuan.

Munculnya persoalan gender atau gerakan feminisme dunia merupakan protes terhadap sistem yang selama ini mengungkung kaum perempuan. Seperti sistem patriarki yang selalu menguntungkan kaum laki-laki. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa perempuan itu kedudukannya sangat tergantung kepada laki-laki yang pembawaan fisiknya lebih bebas dan pada umumnya lebih kuat dari perempuan.

Gerakan feminisme atau gender berkembang dari latar budaya patriarki. Laki-laki adalah segala-galanya. Mulai dari mencari penghidupan, menguasai warisan, kuat dan lain-lain sebagaimana gambaran dari sosok maskulin. Ditambah lagi dengan ketakutan kaum perempuan dalam melakukan pertempuran untuk mengatasi pendahulu laki-laki berikut caranya untuk menang.

Feminisme pada masa kini telah menjadi gerakan transformasi sosial yang populer pada tataran internasional. Simone de Beauvoir, aktivis feminis Perancis mencatat bahwa gerakan feminis sebenarnya telah cukup tua dan telah ada sejak abad ke-18 di Amerika dan Eropa. Namun benar-benar menjadi gerakan sosial yang radikal di era 70-an abad dua puluh.

Di masa-masa awalnya, seluruh isu gerakan feminisme Eropa terkonsentrasi pada penciptaan kesempatan yang sama dalam kehidupan sosial bagi perempuan dan menolak streotipe budaya patriarki yang menyebabkan ketidakadilan gender. Sebagai contoh adalah pendefenisian perempuan sebagai makhluk biologis atau makhluk seksual belaka yang penuh dengan berbagai keanehan dan kekurangan.

Lebih lanjut Simone de Beauvoir menulis bahwa perempuan menjadi kurang dalam segala hal, karena kondisi kebudayaan yang tidak memberinya kesempatan sebanyak kesempatan yang telah telah diberikan pada pada laki-laki, dalam hal mencapai prestasi.

Perempuan tidak pernah independen, tetapi menjadi milik suami, anak-anak, dan lingkungan sosialnya. Iklim masa lalu telah memberikan takdir yang melemahkan kehidupan sosial mereka. Perempuan, menurutnya harus berani melepaskan keterbatasan kodrati yang telah diciptakan untuknya.

Bermula dari pandangan seperti ini, gerakan feminis di Amerika dan Eropa terus menerus menemukan bentuknya yang lebih radikal. Sehingga tuntutan utama kaum feminis bukan lagi sekedar “Kesempatan” seperti yang tergambar dalam narasi Simone de Beauvoir, tetapi sebuah revolusi permanen atas kultur universal manusia, di mana keterpisahan gender benar-benar menjadi tidak perlu ada.

Di segi perilaku, para pendukung gerakan feminis benar-benar telah memindahkan watak maskulin ke dalam dirinya, melakukan apa saja yang bisa dilakukan laki-laki. Sehingga banyak pengamat yang bereaksi, bahwa kaum feminis lebih condong memperjuangkan ide-ide maskulin dibanding memperjuangkan ide-ide feminim.

Ada banyak tema sentral yang menjadi dasar kesadaran gerakan feminis terhadap ketidakadilan gender, dan ada banyak analisis yang menjadi dasar gerakan berbagai aliran feminis internasional.

Di Indonesia secara fungsionalisme, sistem patriarki itu dicirikan oleh menonjolnya peran laki-lak dalam semua gerak kehidupan masyarakat. Keadaan itu telah diwariskan sejak jaman dulu dari generasi ke generasi. Sekedar contoh, beberapa daerah yang menggunakan sistem patriarki tradisional itu diantaranya Jawa, Bali, Batak, Makasar, dan suku-suku mayoritas lainnya.

Diantaran yang disebutkan, terdapat beberapa sistem lokal tradisional yang lebih kuat dari lokal lainnya, dan dalam sistem negara kebangsaan juga mendapat kesempatan yang lebih banyak dan mendominasi hampir sebagaian besar hajat hidup berbangsa. Maka perhubungan antar kebudayaan di Indonesia, sering tampil sebagai hubungan vertikal yang tidak memberikan posisi baik bagi lokal lainnya yang lebih minor dan lemah.

Kenyataan yang terlihat bahwa dalam sistem patriarki tradisional pengertian mengenai feminisitas disesuaikan berdasarkan kehendak patriarki yang menjadi pondasi sistem tersebut. Misalnya, standar etika yang diberikan untuk perempuan yang baik, tidak suka hilir mudik, melayani suami, dan seterusnya. Semua nilai-nilai yang lalu datang dari luar tetap saja difungsikan sesuai kehendak patriarki yang ada.

Di Indonesia saat ini, tidak ada hari tanpa kekerasan dan penindasan terhadap yang lemah. Wacana kekerasan dan penindasan terhadap yang lemah, memiliki implikasi adanya dua energi sentral yang menggerakkan kehidupan, diantaranya “Kekuasaan” dan “Ketidakberdayaan.”

Kekuasaan dan ketidakberdayaan dapat mengejawantah dengan sifat-sifat feminim maupun maskulin, patriarki maupun matriarki. Dalam medan kebudayaan, kedua-duanya muncul silih berganti.

Faktor kuasa tidak dapat dilambangkan dengan kekerasan atau penindasan saja, karena ada kuasa yang muncul secara bijaksana dalam kehidupan manusia. Begitu juga sebaliknya, yang lemah belum tentu berwatak lembut, sewaktu-waktu dapat saja menjadi kejam. Kehidupan itu dinamis.

Penulis: Febrianto Sultan, relawan kemanusiaan dan pengamat gender equality Kepulauan Selayar.