Perempuan Dalam Bingkai Politik, Hukum dan HAM

ZONATIMES.COM, Opini – Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, perempuan maupun laki-laki diikat oleh aturan negara yang berlaku.

Hal itu tertuang dalam Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, artinya, segala sesuatunya harus berdasarkan hukum yang ada.

Pada kesempatan ini, saya akan membahas soal perempuan, sebab ia adalah simbol keindahan sekaligus pemilik rahim, yang mampu melahirkan peradaban sekaligus menciptakan generasi intelektual.

Banyak yang tidak tahu figur perempuan dalam perjuangan Indonesia, yang sebenarnya secara terang-terangan berjuang untuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

Tokoh-tokoh perempuan tersebut adalah Cut Nyak Dhien yang menjadi pemimpin di kala itu dan Kartini yang menjadi pembela perempuan untuk mendapatkan hak dalam dunia pendidikan serta masih banyak pejuang perempuan lainnya.

Sayangnya, perjuangan para tokoh perempuan tersebut tidak terlalu menonjol karena tertutupi oleh narasi-narasi dominan tentang sejarah perjuangan maskulin atau kaum laki-laki.

Sampai saat ini hukum masih dianggap diskriminatif dan tidak berkeadilan gender. Padahal mestinya hukum berkeadilan atau sensitif gender demi menjamin terpenuhnya hak-hak perempuan.

Mestinya perempuan diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam setiap aspek bermasyarakat dan bernegara, sehingga diskriminasi terhadap hak-hak kaum perempuan dapat berkurang.

Sebenarnya pelanggaran hak asasi perempuan terjadi karena banyak hal, diantaranya adalah akibat sistem hukum dimana perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.

Pasal 27 ayat 1 undang-undang dasar tahun 1945 menjelaskan adanya pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.

Secara yuridis dalam tataran internasional, instrumen hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia mengakui tentang adanya prinsip persamaan hak antara laki-laki maupun perempuan.

Namun, saya kecewa karena dalam implementasinya tidaklah relevan, sebab diskriminasi dan ketidak adilan terhadap perempuan masih marak terjadi. Dan efeknya menjadikan perempuan tertinggal dan dimarjinalkan dalam bidang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, hukum maupun dalam bidang politik.

Hal tersebut lagi-lagi disebabkan oleh budaya patriarki yang sudah mendarah danging dan berkembang dalam masyarakat. Dalam kajian intelektual, budaya akan selalu ada dan melekat di masyarakat. Itu berarti budaya patriarki akan tetap menjadi hantu-hantu dalam kehidupan.

Perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan sudah ada sejak lama, akan tetapi sampai saat ini pejuang feminis belum dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan untuk mampu sejajar dengan kaum laki-laki.

Walau pun sebenarnya perempuan sudah terjun dalam dunia politik seperti terpilihnya ibu megawati soekarno putri sebagai presiden dan beberapa perempuan yang memiliki jabatan yang strategis dalam pemerintahan, namun ketidak adilan gender dan ketertinggalan kaum perempuan masih belum teratasi sebagai mana yang diharapkan.

Dalam upaya pencegahan tingkat diskriminasi terhadap perempuan pemerintah banyak membuat aturan perundang-undangan, salah satunya yang saya kutip yakni keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik yang diatur pada Undang-undang No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik dan Undang-undang Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Kedua Undang-undang ini merumuskan aturan berupa kuota 30% bagi perempuan di ranah politik. Tetapi saya merasa ini tidaklah adil terhadap perempuan dan justru menguntungkan pihak laki-laki.

Mestinya kouta itu dibagi 50% perempuan dan 50% laki-laki sehingga perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi perempuan di legislatif melalui affirmative action dapat dilakukan dengan melibatkan kaum perempuan lebih banyak aktif di partai politik.

Memberdayakan perempuan dalam partai politik adalah merupakan langkah paling awal untuk mendorong
agar kesetaraan dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki dan perempuan di dunia publik dalam waktu tidak terlalu lama.

Langkah ini diperlukan agar jumlah perempuan di lembaga legislatif bisa seimbang jumlahnya dengan laki-laki. Tetapi sangat di sayangkan upaya pemerintah dalam mencapai keadilan terhadap perempuan dengan berbagai aturan yang dibuatnya justru tidak mampu mengurangi resiko penindasan kepada kaum perempuan. Malahan perempuan semakin terintimidasi dan tidak mendapat ruang akses Dalam ranah hukum, politik, dan sebagainya. karna kadang kala hukum tidak berpihak kepada perempuan.

Oleh: Winny Marissa
Penulis merupakan Mahasiswi Institut Agama Islam Muhammadiya Sinjai, tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.