Social Distancing vs Tradisi Kongkow

ZONATIMES.COM, Opini – Akankah perintah menjaga jarak dalam bersosialisasi sukses menahan laju penyebaran virus? Mari menengok tradisi hidup masyarakat kita atau tepatnya apa yang terjadi sekarang setelah diminta menahan diri untuk keluar rumah.

Masyarakat kita tumbuh dengan kebiasaan untuk ramai. Esensi manusia sebagai makhluk sosial mengejawantah nyata dalam denyut kehidupan masyarakat kita.

Sejak lahir sampai suatu waktu berpulang, kita selalu dikitari oleh budaya ramai. Saat teman kita melahirkan kita ramai-ramai menjenguk, saat acara aqiqah ramai-ramai buat acara syukuran. Setelah itu ada acara sunatan yang juga diupacarakan.

Puncaknya saat tiba waktunya untuk dinikahkan. Resepsi adalah puncak ritual keramaian dari fase kehidupan anggota masyarakat. Belum saya menyebut bagaimana ramainya acara ulang tahun yang tentunya dilakukan setiap tahun. Atau bagi yang pindah rumah atau melakukan syukuran promosi jabatan.

Singkatnya, semua momen hidup selalu diikuti dengan keramaian. Hidup ramai akhirnya menjadi tradisi. Dan pola hidup ramai inilah yang membentuk budaya kongkow yang lebih modern. Lihatlah, semakin menjamurnya warung kopi di setiap sudut kota. Saya menyebut ini budaya khas kongkow kaum pria.

Lihat pula, semakin menjamurnya arisan yang tak lain sebagai cara berkumpul komunitas yang didasari persamaan sisi hidup. Ada saja alasan untuk arisan bisa karena pernah sama-sama satu sekolah, sama-sama menunggu anak pulang sekolah, atau sama-sama jenis kendaraannya saat bersekolah. Saya menyebut ini sebagai tradisi kongkow khas bagi kaum perempuan.

Jadi budaya ramai atau budaya kongkow adalah tradisi yang sudah tidak terpisahkan dalam denyut nadi masyarakat kita. Mewabahnya Covid 19 tiba-tiba berhadapan dengan apa yang sudah mentradisi pada masyarakat.

Masyarakat dihimbau untuk menjaga jarak dan tinggal di rumah, sebagai jalan terbaik untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Tapi apa yang terjadi setelah perintah ‘social distancing‘ dan ‘stay at home‘?

Isteri saya cerita bahwa temannya masih jalan ke mal. Teman lainnya masih ramai-ramai pergi ke acara pesta pernikahan. Yang lain masih kongkow di tempat keramaian. Ada juga teman saya masih mengagendakan rapat organisasi.

Semua itu adalah bias dari tradisi kolektifitas yang sudah mengalir dalam darah masyarakat kita yang tidak mungkin dirubah dengan surat edaran atau surat himbauan. Apa yang bisa merubahnya? Kekuasaan negara dengan segala alat pemaksaan yang melekat.

Penulis: Hamdan Juhannis Rektor UIN Alauddin Makassar.