Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Perahu Kertas

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus fakultas Sastra UGM tahun 1964. Semasa mahasiswa telah pula sibuk dengan kegiatan seni: mengasuh acara sastra RRI Yogyakarta, menyelenggarakan diskusi dan lomba kesenian, menerjemahkan, main dan menyutradarai sandiwara, dll. Aktivitasnya kemudian menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi, hingga guru besar. Berikut Puisi Sapardi Djoko Damono Perahu Kertas:

Pertapa

Jangan mengganggu: aku, satria itu, sedang bertapa dalam sebuah gua, atau sebutir telur, atau sepatah kata — ah, apa pula bedanya. Pada saatnya nanti, kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna — masih beranikah kau menyapaku, Saudara?

Yang Fana adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.

Tuan

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.

Telinga

“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,
bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-
baiknya apa pun yang dibisikkannya
kepada diri sendiri.

Tajam Hujanmu

Tajam hujanmu
ini sudah terlanjur mencintaimu: payung terbuka yang ber-
goyang-goyang di tangan kananku, air yang menetes dari ping
gir-pinggir payung itu, aspal yang gemeletuk di bawah sepatu,
arloji yang buram berair kacanya, dua-tiga patah kata yang meng-
ganjal di tenggorokan
deras dinginmu:
sembilu hujanmu

Di Tangan Anak-anak

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad
yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung
yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;
di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

“Tuan, jangan kauganggu permainanku ini.”

Akulah Si Telaga

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja – perahumu
biar aku yang menjaganya

Sihir Hujan

Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kau matikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan –
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kaurahasiakan

Seruling

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya, me-
nutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan pangeran dan
putri dari kerajaan-kerajaan jauh yang tak terbayangkan merdu-
nya ….
Ia meraba-raba lubang-lubangnya sendiri yang senantiasa me-
nganga.

Perahu Kertas

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau
layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu
bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki
tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar
warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-
kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-
mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar
dan kini terdampar di sebuah bukit.”

Cara Membunuh Burung

Bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk
bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita
belum dilahirkan itu?
soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau
setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting
pohon jambu (ah dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering
ingin sendirian
soalnya ia baka

Di Atas Batu

ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah
kali
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana
ke mari
ia pandang sekeliling: matahari yang hilang – timbul di sela
goyang daun-daunan, jalan setapak yang mendaki tebing kali,
beberapa ekor capung –
ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini

Kumpulan Puisi