ZONATIMES.COM – Penindasan terhadap kaum perempuan telah terjadi selama berabad-abad lalu, sejak masa komunal (konsep bercocoktanam diambil alih oleh kaum laki-laki) dengan alasan bilogis yaitu masa kehamilan sehingga laki-laki mengambil alih hasil penemuan kaum perempuan dan mendomestifikasikan kaum perempuan dalam tiga ruang yang lazim kita kenal dengan sebutan sumur, dapur, dan kasur.
Kaum laki-laki yang merasa lebih mudah bercocok tanam daripada harus berburu dengan konsekuensi yang dihadapi lebih besar akhirnya memodifikasi ruang kerja kaum perempuan. Hal tersebut terjadi sampai sekarang ini, dimana ruang kerja yang awalnya dikuasai oleh perempuan lewat pengembangan dan inovasi. Diambil alih oleh laki-laki dengan cara paksa dengan berbagai cara, salah satunya politisasi ajaran agama.
Keadaan diataslah yang kemudian mempelopori hadirnya gerakan feminisme di Barat di abad ke-18 dengan berbagai gendre mulai dari yang bersifat sederhana sampai yang bersifat radikal dengan varian berbeda sesuai keyakinan promotor gerakan. Walaupun berbeda motif gerakan, tujuannya sama yaitu meraih keadilan bagi kaum perempuan. Sayangnya, gerakan feminisme di Barat menyudutkan kehadiran agama. Bahwasanya kehadiran agama justru menjadi salah satu penyebab penindasan kaum perempuan.
Salah satu dari sekian banyak agama yang dikerdilkan sebagai bagian dari penindasan kaum perempuan adalah islam. Dengan kerangka konseptual nilai dari ajaran islam telah membelenggu kebebasan kaum perempuan lewat rekontruksi ajarannya terhadap realitas sosial yang dijalani oleh kaum perempuan.
Mulai dari kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat sosial sampai pada intervensi kaum laki-laki terhadap kehidupannya. Padahal, apa yang dijadikan landasan pendakwaan terhadap islam bersumber daripada hasil pengamatan kepada perilaku politisasi agama yang ingin melanggengkan budaya patriarki bukan pada subtansi dari ajaran agama islam. Sehingga perlu kiranya kembali mereformulasikan kembali terkait tuduhan terhadap agama islam sebagai biang keladi penindasan kaum perempuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan analisa.
Tujuan agama islam muncul dipermukaan bumi adalah mencipatakan keadilan dan kedamaian bagi seluruh penduduk bumi secara universal tanpa membedakan kedudukan mereka secara suku, agama, bangsa, dan utamanya jenis kelamin tertentu. Dengan alasan inilah dapat dipahami bahwa islam sebenarnya sangat menentang segala bentuk penindasan terhadap kelompok tertentu seperti penindasan kaum perempuan. Bukti otentiknya dapat kita lihat lewat gerakan Muhammad Saw selaku pembawa ajaran islam dan juga nilai dari ajaran islam.
Kebobrokan Jahiliyah dan Gerakan Pembebasan Muhammad Saw
Muhammad Saw membawakan islam ditengah masyarakat Arab jahiliyah yang buruk kehidupan sosialnya salah satunya perlakuan terhadap kaum perempuan. Bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dikarenakan konsepsi bahwa perempuan yang lahir hanya menjadi beban. Persepsi perempuan sebagai beban itu tidak hanya menciptakan terjadinya penindasan sejak perempuan masih bayi dengan menghilangkan kesempatan hidupnya tapi juga terjadi pada perempuan dewasa baik yang berstatus istri maupun berstatus budak dengan menjadikan taruhan di arena perjudian.
Perempuan dianggap sebagai seonggok daging tidak berguna yang dapat digunakan sesukanya untuk memenuhi nafsu bejat kaum laki-laki Arab jahiliyah, bahkan dianggap seperti barang yang dapat dipertaruhkan di meja perjudian. Konsepsi inilah yang sangat ditentang oleh Muhammad Saw, dengan semangat islam revolusioner beliau melakukan pergerakan untuk mengubah konsepsi tersebut dengan memberikan derajat mulia bagi kaum perempuan.
Salah satu pidatonya di padang arafah mengatakan bahwa “surga ditelapak kaki ibu” yang diulang sebanyak tiga kali menjadi seruan untuk memuliakan kaum perempuan. Dibawah kepemimpinan Muhammad Saw praktik pembunuhan bayi perempuan dihentikan begitu pula dengan penindasan kaum perempuan di keluarga dan masyarakat.
Nafs Wahidah Dan The Second Sex Simeone De Beavor dalam The Second Sex Simeone De Beavor mengungkapkan gugatannya terhadap teologi islam terkait perempuan yang dianggap sebagai second sex atau dipahami sebagai jenis kelamin kedua. Pandangan yang lahir lewat penafsirannya terhadap historis penciptaan kaum perempuan (Hawa) dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Perspektif ini membuatnya mengutuk agama karena historis ajaran islam inilah perbagai penindasan terhadap kaum perempuan bermula, bahwa perempuan hanya diciptakan sebagai pemenuh kebutuhan laki-laki.
Namun, dalam pandangan penulis kisah Adam dan Hawa bukan sebagai penindasan terhadap kaum perempuan. Melainkan sebuah konsep penjabaran daripada asal usul regenerasi manusia di muka bumi, bahwa tanpa perempuan laki-laki tidak akan mampu menciptakan regenasi di muka bumi. Konsep Nafs Wahidah menjadi penjelas bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dari subtansi yang sama tanpa memberikan keistimewaan pada jenis kelamin tertentu.
QS. Al-Hujurat, 49 : 13 Sebagai Landasan Gerakan Keutuhan Kaum Perempuan.
Dalam QS. Al-hujurat ayat 13 tersebut secara gamblang telah dijelaskan bahwa manusia dimuka bumi berasal dari satu laki-laki (Adam) dan satu perempuan (Hawa) dalam proporsi yang sama. Hal ini menunjukkan perempuan memiliki andil besar bagi peradaban manusia dengan proporsi yang sama dengan laki-laki. Persamaan derajat laki-laki dan perempuan menepis perspektif bahwa laki-laki lebih unggul daripada kaum perempuan, setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan untuk memiliki nilai lebih dibanding lainnya.
Ayat ini pula menguatkan gerakan untuk memberikan kebebasan terhadap kaum perempuan dari belenggu budaya patriarki, anggapan bahwa laki-laki lebih baik dalam segala hal harus digantikan dengan setiap manusia memiliki peluang lebih baik tanpa harus menilai dari alat kelamin. Ultimatum ini menjelaskan bahwa perempuan memiliki keutuhan tersendiri dalam kehidupan sosial bukan bagian dari kepemilikan kaum laki-laki.
Dengan nilai ajaran islam yang relevan dalam menjawab kondisi penindasan perempuan maka gerakan masyarakat muslim dan muslimah harus lebih progresif mengatasi penindasan tersebut dan bahkan melakukan pembebasan terhadap kaum perempuan. Jangan menjadikan agama justru sebagai instrumen dalam mengekang, bahkan menindas kaum perempuan.
Pokok ajaran islam yang secara jelas mengecam segala bentuk penindasan termasuk terhadap kaum perempuan harus dijadikan acuan dalam kehidupan sosial masyarakat seperti yang telah dicontohkan oleh Muhammad Saw, sehingga islam yang tadinya dianggap sebagai instrumen penindasan terhadap kaum perempuan berubah menjadi kekuatan gerakan dalam membebaskan perempuan dari berbagai penindasan sesuai dengan tujuan mulia lahirnya islam.
Tulisan ini sepenuhnya jadi tanggungjawab penulis!
Oleh: Rahmat (PMII UIN Alauddin Makassar Cabang Makassar)