Kartini adalah sosok perempuan yang sampai saat ini melekat pada masyarakat Indonesia sebagai perempuan pejuang emansipasi wanita, perayaan Hari Kartini dan lagu “Ibu Kita Kartini” hadir untuk mengingat Ibu Kartini.
Tapi masih ada beberapa perempuan di Indonesia yang memperjuangkan pendidikan tanpa diskriminasi, sosial, dan gender di tengah penjajahan Belanda. Terutama wanita yang hampir terlupakan di Indonesia bahkan tempat tokoh ini dilahirkan yaitu Sulawesi Selatan, namanya memang tidak didapatkan dalam buku sejarah seperti Ibu Kartini.
Tokoh itu adalah Siti Aisyah We Tenriolle, tokoh yang memperjuangkan Emansipasi wanita dari suku bugis. Namun sayang waktu kelahiran Siti Aisyah tidak diketahui secara pasti, namun Siti Aisyah wafat pada tahun 1919, di Desa Pancana Tanette ri Lau, Kabupaten Barru, Sulsel.
Ya, Siti Aisyah lebih tepat berasal dari Tanete sekarang dikenal dalam pemerintahan dengan sebutan daerah Barru, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kedua orang tua Aisyah adalah bangsawan, ayah Siti Aisyah sendiri bernama La Tunampare’ alias To apatorang yang memiliki gelar Arung urung, dan Ibunya bernama Collic Poedjie yang bergelar Arung Pancana. Dari keluarga bangsawan itulah lahir dalam diri Siti Aisyah sebagai pemimpin, hal itu dibuktikan Siti Aisyah yang menjadi Datu (Ratu) kerajaan Tanete, pada tahun 1855-1910.
Kita tidak akan membahas lebih banyak tentang kehidupan pribadi Siti Aisyah tapi mari kita fokus terhadap bagaimana Siti Aisyah menjadi tokoh pejuang Emansipasi wanita di Suku Bugis.
Di masa kepemimpinan Siti Aisyah, beliau fokus dan berkonsentrasi terhadap pendidikan rakyatnya dan kesusastraan. Naskah-naskah tua I La Galigo yang terpisah di kerajaan Gowa, Tallo, Bone melalui kekuasaannya Siti Aisyah berhasil mengumpulkan naskah itu bersama ibunya. Naskah I La Galigo ini dikeramatkan oleh orang Bugis pada saat itu. Mereka percaya bahwa naskah itu sebagai petua leluhur atau (Tau Riolo) yang mengandung hikmah kehidupan.
Kemampuan Sastra Siti Aisyah menjadikan Naskah I La Galigo tidak musnah dari peradaban, Naskah I La Galigo saat ini menjadi salah satu Sastra warisan Dunia. Naskah I La Galigo ditulis oleh nenek moyang orang Bugis, ditulis di atas daun lontar yang berjumlah ribuan Naskah, diperkirakan hanya sepertiga yang terkumpul sampai saat ini. Naskah I La Galigo sendiri ditulis dalam bahasa bugis kuno, hanya priayi dan kaum intelek dari kerajaan bugis yang memahami tulisan dan Naskah I La Galigo.
Di bawah kepemimpinan Siti Aisyah yang memiliki kemampuan sastra yang luar biasa, ia mengatur strategi untuk memajukan pendidikan di Tanah Tanete. Pada saat itu Belanda mendirikan sekolah dan memajukan pendidikan hanya untuk orang kaya, bangsawan, dan kaum laki-laki. Perempuan mendapatkan diskriminasi.
Bukan hanya suku bugis saja yang pada saat itu mendapatkan diskriminasi tapi seluruh wanita Indonesia merasakannya. Maka bermunculan pejuang emansipasi wanita di Indonesia seperti Kartini dari Pulau Jawa, Safiatuddin dari Aceh, dan masih banyak pejuang emansipasi wanita Indonesia termasuk Siti Aisyah dari Suku Bugis.
Pada saat Siti Aisyah merasakan diskriminasi itu, Siti Aisyah mendirikan pendidikan modern yang dibuka untuk semua kalangan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Pendidikan itu dimulai Siti Aisyah pada tahun 1908, hal itu dilakukan Siti Aisyah agar masyarakat bawah juga bisa merasakan pendidikan tanpa diskriminasi.
Pada saat itu bukanlah hal yang mudah dilalui Siti Aisyah karena pendidikan yang dibangun Siti Aisyah tidak mendapatkan bantuan dari Belanda. Bahkan yang dilakukan Siti Aisyah adalah langkah awal memajukan pendidikan wanita di Sulawesi Selatan.
Konsep Pa-Pauna Sehek Maradang digunakan Aisyah untuk menjalankan kepemimpinannya, yang diartikan (Lima Tuntutan Hikayat Syekh Maradang)
- Orang yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahtraan suatu negeri.
- Orang yang kaya adalah orang yang memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya untuk pembangunan negeri.
- Orang pemberani adalah orang yang melindungi rakyatnya.
- Wali adalah orang yang dimuliakan Allah.
- Fakir adalah orang yang diterima doanya oleh Allah.
Penghargaan untuk Siti Aisyah belum kita rasakan. Bahkan perjuangan Siti Aisya bukan hanya memperjuangkan kesetaraan gender tanpa diskriminasi perempuan tapi juga perjuangan Siti Aisyah di bidang sastra, yang membuktikan bahwa Naskah I Laga Ligo bisa sampai ke Dunia Internasional.
Nama Siti Aisyah kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, tidak tercatat dalam sejarah, dan tidak digambarkan dalam ingatan pemuda pemudi masa kini. Akankah Siti Aisyah terlupakan? Biarkan tulisan yang sangat singkat ini kembali mengingatkan kita betapa pentingnya sejarah perjuangan emansipasi wanita di Indonesia.
Salam Literasi, Salam Inspirasi, Salam Pustaka Kopi (pustaka_kopi.makassar).